Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«
yang dirasa chan sekarang; terkejut, terpana, sakit, rindu, dan khianat. semuanya luruh menjadi satu kelabu hitam di dalam benak dan hatinya. terakhir, chan hanya izin pada minho untuk pulang duluan, merasa makalahnya belum selesai, padahal makalahnya sudah dikumpulkan tiga hari yang lalu. berantakan. chan berantakan.
ayah, sosok ayah yang dirindukannya kembali dengan wujud antagonis, lagi.
seharusnya tidak, telah lama chan memendam rasa benci itu, bertahun tahun ia paksakan untuk menghapusnya karena dirasa mustahil untuk membenci seorang ayah sendiri. namun dengan kontribusi kecil pada hidupnya, chan berpikir dua kali.
apa yang akan dikatakan ibunya, apa yang terjadi setelah ini.
chan bahkan nggak pernah siap untuk kekacauan yang akhirnya ada didepan matanya, yang akhirnya akan meledak, tinggal menghitung mundur.
kalau bisa chan ingin mengisi kopernya, lalu membrantas habis kartu kredit ayahnya, membawa lucas, dan pergi ke tempat dimana ibunya dan hannah berada, australia.
tapi tak semudah itu, ini perang dingin yang tidak bisa ditunda lagi, cepat atau lambat semuanya akan hancur. percobaannya gagal, semuanya gagal, total. padahal perjuangannya mencapai puncak yang kini sedang ia nikmati sangatlah menyiksa.
terlambat, hatinya sudah lama luluh dan ini terlalu lama untuk disadari betapa sesak hatinya menyimpan rasa pada minho disaat yang sama dendamnya itu pecah bak sebuah balon yang ditiup terlalu kuat, tekanannya membuat chan memaksa seluruh simpanan bencinya itu menyeruak kembali.
lucas yang tengah menyelesaikan tugas mewarnainya di ruang tamu bertanya, melihat kakaknya kelimpungan, mundar-mandir tidak jelas. "a, kenapa sih, geje banget."
chan yang mendengar sindiran adiknya langsung berhenti ditempat, menghirup napas dalam dalam. "dek, ngegambarnya coba dikamar gih, dingin lagian. aa mau beres-beres."
entah darimana alasan bertabur gula-nya itu muncul, membuat lucas yang disana mudah terpedaya, sontak bangkit lalu membereskan krayon juga pensil warnanya yang berserakan seraya mengangguk. akhirnya chan ditinggal sendirian, pintu kamar lucas tertutup sempurna.
kamar lucas yang lumayan jauh jangkauannya dari balkon membuat chan makin yakin, ini jam tiga pagi. biasanya suaranya akan ia gunakan untuk menina-bobokkan minho yang kelelahan sehabis mengerjakan makalah akhir, maaf minho.
karena sekarang chan tidak akan mengganggunya, mutlak chan pastikan bahwa minho sudah terlelap. kini chan harus ambil kemudi, membiarkan semuanya luruh.
hanya suara nada panggilan telefon yang terdengar bersahutan dari ponsel chan, menaruhnya di tepi sanggahan balkon sana, tidak berani digenggam, nafasnya menderu seraya menggigit bibir bawahnya. chan lebih baik mati daripada harus memulai kehancuran hidupnya sendiri.
"ya, halo, aa? ini aa kan?"
mengulum bibirnya, chan menjawab dengan gundah. "iya, yah. ini aa."
entah, bukan bunga-bunga yang ia seharusnya rasakan dikala rindunya harus ia bunuh mati-matian. ini terlalu menyakitkan, suara ayahnya seperti suara malaikat maut. "kenapa, a? ko belum tidur jam segini? lagi bikin lagu?"
ayahnya disana pun bingung, biasanya anak sulungnya ini menelepon jika uang bulanan habis atau iuran sekolah lucas dan kampus chan belum dibayar. chan kini terkesan serius, membuat bulu kuduk sang ayah merinding.
"nggak, yah, aa mau nanya." jeda, chan berusaha menahan degupan jantungnya seakan jantungnya itu akan keluar dari dadanya. tangannya basah; ia lap pada celana pendeknya, chan takut, sangat takut bahwa dugaannya ini tepat. "jawab jujur ya, yah"
dehaman darisana terdengar, membawa jalur untuknya melangkah, menacap gas. "ayah.. ayah tadi siang makan di mall?"
demi tuhan, cabut nyawa gue sekarang, tolong, sebelum ayah jaw一
"iya."
jatuh sudah, pertahanan chan jatuh, linang pada manik matanya mulai penuh, satu persatu mulai berjatuhan. "s... sama siapa.." tuturnya lirih.
"chan." tegas ayahnya bengis secara mendadak, memicu roma chan yang kaku sedari tadi. "ayah nggak一"
"aa liat, yah. j.. jangan.. ayah pikir s- selama ini ayah jauh dari aa terus aa nggak tau sebejat apa kelakuan ayah.. selama ini."
suara di ponsel terdengar, tercekat. ayah chan dibuat gagu oleh anak pertamanya.
tangan kanan chan bergerak menyeka airmata yang penuh, menetes sedemikian rupa di dagunya, membuat kedua pipinya basah, tapi tidak berisik. "dari smp yah.. bahkan aa udah usaha," genggamannya ia tekankan kuat-kuat, rahangnya mengeras, berusaha menahan sesak.
hirupan napas terdengar kuat, suara jangkrik yang mengiringi malam membuat suara dari ponsel itu lebih unggul meski hanya suara udara. menghembuskannya, sang ayah menjawab. "baik. ayah minta maaf. ayah gak tau apa usaha aa tapi.. ayah.. ayah tau ini salah一"
"kalau salah kenapa malah dilanjutin, sih?" chan membiarkan kekesalannya membuncah, seolah menghadapi musuh, chan mengerahkan simpul dalam hatinya, membuat ayahnya serasa mati ditempat. "khilaf? iya? ayah gak mikirin gimana aa? yang sebenernya tau? ayah ga mikirin gimana perasaan ibu kalo一"
"tolong. tolong jangan biarin dia tau, chan. tolong."
chan sudah tidak peduli parasnya akan seperti apa, isak tangisnya sudah pecah tapi masih dibiarkan senyap, tidak mau orang lain mendengar, terutama tetangganya. chan kewalahan, sangat. "aa capek, yah. ayah jahat banget."
perlahan, isakan mulai terdengar disebrang sana, dari saluran ponsel yang sedang dalam mode loudspeaker itu, hanya saja chan memelankan suaranya tetap, chan hanya tidak ingin telinganya berpapasan langsung dengan suara orang jahat disana.
"ayah.. ayah minta maaf, maafin ayah, a." betapa perihnya hati chan yang mendengar ayahnya mengemis maaf, ini amat menyakitkan baginya, ditambah dengan suara tangis yang sedikit demi sedikit dibata, membuat seluruh tegakkan lancangnya kini rapuh. "ayah janji.. ayah janji bakal jadi lebih baik, tolong kasih ayah kesempatan."
"pulang yah. disini ayah jadi jahat, aa nggak suka."
keputusan itu chan buat semata hanya ingin saja, entah darimana asalnya tapi mungkin ada niat baik benaknya memberitahu. "temenin ibu sama hannah, bawa lucas, disana pendidikannya lebih baik." jelasnya, suaranya lebih jelas namun tetap parau, menegaskan kekecewaan yang sekarang melingkupinya.
"baik. ayah pulang besok. kamu jaga diri?" rentan, suara sang ayah rentan sekali membuat chan ingin mengakhiri ini segera. chan tidak tahan. "belajar yang bener, ya? maafin ayah sekali lagi, maafin ayah udah ngecewain aa."
"ayah aa maafin, tolong jagain ibu. ayah hutang budi banyak sama ibu."
kekeh kecil terdengar, hati chan melunak. "ayah pamit."
"iya." telefon chan matikan.
peran sebagai sulung memang begitu menyakitkan, tak ada yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri. biar semua hancur, biar saja.
chan lalu perlahan terduduk, meringkuk, membawa kedua lututnya pada pelukan hangat di malam yang dingin itu, cahaya rembulan memantul pada kaca jendelanya, menampilkan sebuah kegagalan didepan matanya, chan melanjutkan tangisnya. ─