15

699 107 5
                                    

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«

bertahun silam.

sepulang sekolahnya, chan yang berbahagia setelah mengalahkan rivalnya itu mengunjungi salah satu kedai dekat sekolah. sesuai taruhannya, yang kalah harus traktir es krim. seri gemintang sudah terpampang sempurna di wajahnya, siap untuk melahap es krim tanda kemenangannya itu.

meski berbeda setahun dengannya, minho yang melewatkan pendidikan taman kanak-kanaknya itu merasa tidak masalah sama sekali, chan yang sudah lebih dari terbiasa pun jadi inisiatifnya untuk memperoleh mangsa lemah. imbasnya, keduanya jadi musuh sejati.

derap langkah minho terdengar sedetik setelah chan duduk di meja kedai, minho ternyata habis berlari, "telat dua menit dari janji, tau," cibir chan, terkekeh saat melihat peluh minho yang bercucuran di dahinya.

"gue dikejar anjing tetangga, kalem," tutur minho, sembari mengatur napasnya, ia duduk di hadapan chan, menaruh tasnya dimeja lalu berteriak pada ibu kedai untuk memesan dua cone es krim cokelat, "gue vanilla, kali," chan mematah, minho mengganti pesanannya segera, diteriakkan kembali.

"udah izin ke tante mau kesini dulu?" tanya chan, antisipasi sebelum dimarahi nyonya lee habis habisan. kegemaran mereka untuk jadi teman sparing tentu saja sudah diketahui kedua orangtuanya, maka kendati hubungan baik sang orangtua, anaknya yang masih belum baikan menjadi ironi aneh tersendiri bagi orang yang menerka.

minho mengangguk, tanda mengiyakan. mencabut bergulung-gulung tisu rol untuk menghapus peluh. buku catatan ia keluarkan dari tas guna kipas, angin yang dihasilkan cukup untuk membuat panas di tubuhnya mereda.

jeda setelah keduanya menenang, cone es krim sudah di tangan mereka, keduanya merapalkan rumus-rumus pythagoras yang nantinya akan jadi salah satu tes di pelajaran matematika, meski keduanya sama sekali tidak unjuk gigi dalam hal akademis, mereka tetap harus lulus tes tersebut.

minho seketika menjilat lelehan eskrim pada ibu jarinya, chan yang memerhatikan jadi tidak nyaman dan memutus tisu gulung yang terletak di meja, "jorok, btw a itu sama dengan akar c kuadrat dikurang b kuadrat, tau."

minho menerima tisu pemberian chan yang tiba-tiba dan jemawa, "iya tadi salah liat, di catatan lo ditulisnya c kuadrat ditambah b kuadrat, dasar tulisan cakar ayam."

"diem, lo. besok tanding lagi, berani kan?" tantang chan, tangannya melintas meja, mengambil bukunya yang ada dihadapan minho. "siapa takut, yang kalah.. bersihin toilet, gimana?"

senyuman tidak luput dari paras chan, menganggap enteng taruhan minho barusan, "oke, tapi nanti abis tes? tesnya kan minggu depan."

gigitan cone terakhir minho lahap sehingga es krimnya kini ludes tak bersisa, tertawa kecil untuk menyembunyikan rasa was-was nya karena sejujurnya, minho masih tidak tenang akan tes rumus pythagorasnya ini. "berhubung kita bego matematika, jadi, oke."

chan mengangguk lalu memesan nasi goreng di kedai tersebut, begitu pula minho. keduanya jarang sekali membawa bekal, resikonya, tasnya jadi berat dan tempat bekalnya seringkali hilang entah kemana. jadi untuk memperkecil kemungkinan-kemungkinan, mereka memutuskan untuk membeli makan di kedai, sedangkan di kantin hanya membeli satu plastik minuman berisi teh dengan es batu.

**

setibanya di rumah, chan merebahkan tubuhnya pada sofa ruang tamu, melihat hannah dan lucas yang masih bermain lego, ia menghela napas berat, malas membereskannya. "aa, aa bawa jajanan, nggak?" tanya hannah yang sedang membuat rumah-rumahan, chan menggeleng lalu memejamkan matanya, berusaha memalingkan diri dari permintaan adiknya itu, lontaran kekesalan hannah jadi pengantar tidur sekilatnya.

bangun terlambat petang sudah menjadi pamali paling ampuh, kepala chan pusing tak karuan karenanya, niatnya untuk mandi dan mengganti baju terhalang pening di kepalanya, ia memutuskan untuk diam sejenak.

melihat keadaan yang tentram dan meja ruang tamu yang rapi, chan sedikit terkejut, menepikan lengkungan di wajahnya akan kedewasaan adik-adiknya yang makin ranum. keduanya telah berdiam di kamar, entah mengerjakan pekerjaan rumah atau tidur.

ayahnya biasanya akan tiba larut, bahkan tidak pulang. jadi, karena terbiasa dengan absensi sosok ayahnya di rumah, chan terpaksa harus menjelma jadi sulung sejati.

setelah bersih-bersih badan, chan mengambil tumpukan buku di kamarnya, menaruhnya di meja ruang tamu. dari sana, chan kurang suka untuk mendekam di kamar karena rumahnya yang terlalu hening, chan juga sangat gemar dengan musik sehingga ia mengambil mp3 kecil miliknya lalu menyetelnya sembari mengerjakan buku kumpulan soal ujian nasionalnya.

menyibak halaman demi halaman, chan menggigit ujung pensilnya. stuck di nomor tiga puluh dua, chan kurang mengerti pelajaran ipa terutama bab sistem elektromagnetik, seketika benaknya nelangsa; kosong melompong, blank. mengusak rambutnya, chan melewati gangguan untuknya itu, dan disaat yang sama knop pintu terbuka.

di jam selarut itu, ditayangkan sebuah pemandangan yang sangat hina.

bau alkohol menguar seketika sosok pria tinggi berbaju jas dan kemeja berdasi itu datang ke huniannya, itu ayah chan. pergelangan tangannya menggenggam lengan seorang wanita dengan rambut acak-acakan dan atasan baju yang sudah tidak seksama, bekas merah-kebiruan tertampil disana.

chan terdiam, entah harus bagaimana. mematung, membeku, kaku, sekejap mata syaraf pada tubuhnya itu mati, tapi yang ingin mati saat itu juga malah jiwanya, tak mampu menerima rekaman nyata dihadapannya ini.

pasalnya, meski perawakan sang wanita sangat kacau tapi chan tau, sangat tau siapa dirinya dan di detik itu, chan mati rasa.

yang seharusnya terjadi, rekahan perasaan rindu chan pada ayahnya yang sibuk bekerja bahkan jarang sekali pulang untuk berpapasan dengannya itu hanya jadi jumantara eksplisitnya saja, sekarang harus chan terima semua perasaannya itu dipenggal paksa.

hanya deru napas tak beraturan chan yang bisa chan rasakan, sisanya mati; apatis, cacat dan depresi. chan memandang semuanya bagai kaset lama yang usang, seolah mimpi buruknya jadi nyata selaka chan tidak sama sekali memimpikan hal ini.

kedua manusia tercela itu menyelusup masuk pada kamar ayah chan, terdengar knop pintu yang terkunci.

pilihan chan hanya dua; mencari tau tapi bunuh diri, atau tidak peduli tapi dihantui.

persetan, disana chan kalut akan emosinya, membantai seluruh resiko yang akan menimpanya kelak. berdiri chan menghampiri kamar ayahnya, berlutut untuk menyatukan telinganya pada pintu.

chan kelu, tidak ia sangka kalau hubungan baik kedua orangtua itu akan sangat baik hingga menghasilkan sebuah simbiosis mutualisme untuk keduanya tapi parasitisme untuk pengaruh kedua anaknya, entah sampai mana keduanya berpikir tapi jangkauannya begitu rendah.

bunyi dosa itu sedikit demi sedikit terdengar, membuat telinganya terbakar. mereka pikir pelajar kelas tiga smp ini tidak akan mengerti prahara apa yang sedang mereka lakukan disana?

"mas, tolong- hh, j- jangan pergi lagi."

itu yang terakhir kali tertangkap pada indra pendengaran chan, berharap telinganya ini bermasalah sehingga salah dengar tapi tidak, terimalah, chan.

seonggok kenyataan pahit ini chan telan mentah-mentah, entah jadi dampak apa buat hubungannya dengan rivalnya itu, chan masih menganggap ini halusinasi semata.

chan pikir, faktor benci-membencinya itu hanya akan jadi narasi semata, tak ia sangka chan harus menaruh dendam secara nyata.

❥ ┊halo temen temen yang udah baca refrain sampai sini! makasih banyak udah baca fanfic ini, have a nice day!! ♡♡

refrain - banginhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang