25 | Tinggal

6.4K 1.2K 169
                                    

170v 100c

hehew.

map lama.

less motivations

read : mager.

ini serius gada sedih ok istirahat jgn nangis mulu.

cih  inkompeten bgt aku.

Jaehyun ternyata mendengar pembicaraanku dengan Joshua, aku telah melempar segala pilihan diksi untuk dirinya melakukan konsiderasi tapi dia tetap menyuruhku untuk pergi ke kamarku semalam.

Untung saja dia nggak menyuruhku untuk pergi dari rumah ini.

Pagi ini, aku segera menuju ke kamarnya setelah memasakannya sarapan dan menyiapkan obatnya, betapa terkejutnya aku melihat dia tengah berdiri di depan cermin dengan pakaian yang telah diganti.

"Jaehyun?"

Dia menoleh dengan badannya yang sedikit terhuyung karena kehilangan sedikit keseimbangannya, "Hm?" tanyanya.

Aku tersenyum, "Mandi terus ganti baju sendiri?"

Dia mengangguk dan tersenyum.

Nggak terbayang dari jam berapa dia bangun kemudian bersiap seperti ini. Dia berbalik dengan senyum masih terpampang di wajahnya, "Nara, kancing bajuku," katanya sembari mengarahkan pandangannya ke arah kancing bajunya.

Aku tersenyum kemudian menaruh makanan di meja.

Aku menghampirinya; mengancingi bajunya dengan benar. Nampaknya rentetan kancing ini sudah ia coba untuk memasukannya dengan benar, tetapi ada yang hanya masuk setengah dan masuk di lain tempat.

Setelah selesai aku berdiri. Dirinya tersenyum, "Makasih."

Jujur, semakin sering dirinya tersenyum, semakin gelisah diri ini.

Badannya tiba-tiba terhuyung, dengan reflek aku menangkapnya dan membaringkannya di kasur yang berada tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku nggak mengerti dengan perkembangan yang nampak seperti harapan kosong ini.

 "Aku udah tahu sama perasaannya dia, tapi waktu dia ngomong langsung sama kamu, aku nggak bisa dengernya, aku-- aku merasa nggak akan mampu kalau saingannya dia."

"Jae--"

"Ah, bukan. Bukan dia. Aku, nggak akan mampu kalau saingannya orang sehat."

Air mata keluar dari pelupuk matanya, "I was trying to look fine in front of you, at least.."

LUMPUH

Aku menelepon Taeil yang baru saja kembali dari bulan madunya bersama Yena, "Kak, banyak hal yang terjadi dan aku bingung gimana aku harus menilai, detik sebelumnya Jaehyun sangat baik, detik selanjutnya dia tiba-tiba tumbang."

"Ini memang mau kesitu, sama mama Jessica. Udah deket, kok."

Aku menghela nafas lega dengan jawaban yang dia berikan, ternyata dia tengah menuju kemari. Berjalan ke arah Jaehyun yang tengah menaruh laptopku di pangkuannya. Dia menoleh saat menyadari keberadaanku yang mendekat kearahnya, "Nar, kamu dapet undangan."

Aku mengangkat sebelah alisku, "Undangan apa?"

"Kerja. Kamu mau jadi suster di rumah sakit lagi?"

Aku, lupa.

Baru akan aku jawab, "Aku.. nggak akan kerja dulu, kok. Sampai kamu sembuh."

"Mati maksudmu?" cletuknya.

Aku mencubit tangannya keras, "Sembarangan!"

Tuktuk!

Taeil sampai.

LUMPUH

Taeil memeriksa keadaan Jaehyun dan kemudian menyuntikan dua belas obat yang membuat Jaehyun kini terlelap, "Sarafnya semakin mati." katanya.

Aku mengangguk setuju, "Dia ada bilang sesuatu nggak, kak?"

"Dia mau kamu kerja katanya," kata Taeil sembari meminum tehnya.

"Terus dia gimana?"

Taeil menggeleng tanda tak tahu, "Aku belum bisa bilang kalau dia bakalan mau kembali ke rumah sakit dalam waktu singkat, dia nggak suka dipaksa. Kamu tahu itu, kan?"

Aku mengangguk, "Aku nggak tahu apa kembalinya aku ke rumah sakit bakalan buat dia seneng atau enggak, terus aku juga nggak bisa jamin Jaehyun mau kembali dirawat di rumah sakit."

Jessica yang nampaknya telah memastikan tidurnya Jaehyun bergabung ke dalam obrolan kami, "Dia bakalan mau, Nara."

"Jaehyun bilang kalau dia ketemu kamu dan bisa kayak gini sekarang karena kamu suster, kamu tinggal disamping Jaehyun karena kamu adalah perawat, dia bilang kayak gitu."

Taeil langsung tercekat, "Aku barusan bilang begitu, ma. Jaehyun tadi tanya.."

"Bang, aku takut abang capek, bosen, ngerasa sibuk karena satu orang yang punya penyakit yang nggak tentu akan sembuh atau nggak--"

"Jae, selama aku jadi dokter, aku nggak pernah ngerasa begitu. Sisi yang paling aku hindari dari menjadi dokter itu ketika pasienku sakit dan putus asa."

"Jadi?"

"Jadi, sampai kapanpun-- selama kamu memilihku menjadi doktermu; aku bakal selalu ada buatmu. Kapanpun."

"Ah, orang yang harus ku ingat nambah."

"Maksudmu?"

"Orang-orang yang janji nggak akan ninggalin aku."

✓ lumpuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang