Menahan sesak, aku melakukan istikharah yang Ibu sarankan. Disaat ini sebenarnya logikaku dituntut sejernih mungkin.
Airmataku tak henti hentinya mengalir, baik disaat berdiri apalagi disaat sujud.
Aku ingin ke Madrid. Impianku sejak lama mengunjungi negara negara yang memiliki kejayaan Islam. Aku ingin ke Granada, Cordova, Sevilla, bahkan Malaga. Aku ingin menjejakkan kakiku disana.
Beribu why oh why hinggap dikepalaku saat ini. Kenapa gak nanti nanti aja kecelakaanny itu si Aa? Kenapa harus kemarin kemarin sih dioperasinya??
Disaat aku tinggal selangkah lagi menuju mimpiku, kenapa dia harus datang dan mengoyak semua asaku? Buat apa dia datang? Tak rela, sungguh aku tak terima.
Ibu, aku memikirkan Ibu. Berat rasanya melihat beliau berada dalam posisi serba salah saat ini.
Sosoknya adalah yang paling mengerti aku dan mimpi mimpiku. Tak ada kamus meminta dalam hidupnya. Hanya ada keinginan membahagiakan kami anak anaknya, apapun ia setuju.
Tapi memikirkan mimpiku, ingin aku bersikap egois dan tetap berangkat saja meninggalkan ibu san Villa. Cuma, apakah aku tega berbuat sekejam itu?
Aku menutup wajahku dengan mukena. Mencoba meredakan isakanku saat berdoa.
Allah, ikhlaskan aku apapun ketentuanMu..
Aku ingin berbakti dengan Ibu, dengan Mama Nina. Tapi aku juga ingin meraih mimpiku nanti.
Disaat aku sedang menahan nahan isakanku, terdengar pintu kamarku berderit. Ibu sepertinya masuk dan langsung memelukku dari belakang.
Tak terasa, kami akhirnya saling memeluk satu sama lain dengan bertangisan.
"Maafin Ibu Na.. maaf.. " cicit Ibu disela sela tangisnya.
Aku mengangguk angguk lalu mengangkat kepalaku. Ku usap aliran bening di pipi Ibu sambil berusaha memberikan senyumku.
"Kalau teteh menolak gak papa. Biar Ibu ngomong sama Nina. Ibu biar bicarakan baik baik.."
"Bu.."
Ya Allah.. Ibu..
"Kalau kamu berat memenuhi keinginan Mama Nina, ibu faham teh.. sudah jangan nangis yaa.."
Ya Allah.. gak rela rasanya melihat Ibu sesedih ini dan memasang badan untuk mimpiku.
Tidak, aku gak rela Ibu kenapa napa.
Aku memandang wajah Ibu yang mulai berkeriput. Ku cium tangannya dengan takzim. Tak ingin rasanya membuat wajah tua itu menanggung beban malu di masa tuanya.
Bismillah.. aku memilih Ibuku
🌷🌷🌷
Degup jantungku tak tertahankan ketika Tante Anisa, adik Mama Nina, mengajakku keluar dari kamar. Katanya ijab kabul sudah selesai, dan aku sudah bisa bertemu dengan suamiku.
Aku mendapati wajah Ibu dan Mama Nina yang tampak tersenyum bahagia disana. Aku melihat juga Papa Alwan yang memberikan senyum tipisnya ke arahku.
Lalu, aku digiring tante Anisa menuju laki laki yang tengah duduk dikursi dengan blazer hitam berkemeja putih dan berpeci hitam. Dia, suamiku.
Aku menangkap wajah laki laki ini yang terlihat enggan menatapku lebih jauh. Aku juga sama, emangnya dia saja yang enggan menikah?
Mama Nina meraih bahuku lalu memelukku erat. Dia lalu mencium pipi dan keningku dalam.
"Makasih ya Rana. Ayo dicium tangannya Aa Altaf ya. Dia sudah resmi jadi Suami Rana..."
Aku mengangguk kecil mengiyakan lalu mencoba meraih tangan laki laki itu untuk ku cium.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa (END)
ChickLitKisah Granada Aisyah, seorang gadis dari keluarga sederhana, yang berjuang mendapatkan beasiswa untuk belajar di negara penuh cahaya Islam di Eropa. Dan dia berhasil berjuang mendapatkan kesempatan itu dengan segala keterbatasan yang dia miliki. Tap...