Bab 14

2.6K 264 17
                                    

Canggung.

Itulah yang ku rasakan pagi ini saat aku menyiapkan sarapan dan menemani Aa di meja makan dengan kepala menunduk.

Ku lirik sekilas, suamiku itu juga tak berani menatapku. Jadinya kami sama sama saling diam saja sambil menikmati sarapan pagi ini.

Entah kenapa pipiku terasa merona mengingat kejadian sebelum subuh tadi.

Itu seriusan suamiku meminta haknya? Hanya gara gara pelukan kami tanpa baju?

Haish, asli aku merasa malu ketika mendengar pertanyaanya. Kenapa juga dia jadi tersulut gairahnya?

Ah ya, dia kan laki laki normal. Hanya kakinya saja yang tak normal.

"Ran.."

Aku mendongak dan mendapati Aa sedang menatapku.

"Kamu masih sakit?"

Aku menggeleng pelan. Tau deh, pergi kemana larinya itu demam dan mualku. Apa karena kegiatan tadi subuh?

"Kalau masih demam, kita ke tempat praktek teh Fani aja. Nanti kita telfon dulu.."

Duh, jujur aku sedang merasa sakit dibagian lain. Ngilu ngilu gimana gitu..

"Gak usah Aa. Udah gak pa pa.."

Laki laki itu hanya mengangguk kecil lalu kembali menekuri sarapannya.

Laki laki yang aneh menurutku. Kenapa juga sarapan itu harus pake kacang ijo?

Bi Eem sampe belanja sekarung kecil kacang ijo cuma karena suamiku itu pecinta kacang ijo.

Mau dibuat bubur, dia doyan. Dibuat ganastori juga dia doyan. Itu lho yang kue kacang digoreng. Belum lagi kalau dijadiin peyek kacang ijo. Hadeuh, untung aja kulitnya gak berubah jadi hulk. Kehijauan gitu.

Ku lihat Aa sudah selesai makan lalu beranjak hendak ke ruang tengah. Aku bergegas menghampirinya dan memegang lengannya.

Dddrrttt

Aduh, aku kontan berjengit. Perasaanku seperti ada arus listrik dilengannya. Aku kenapa?

"Kamu kenapa?"

Aa menatapku heran karena merasakan gerakanku.

Kikuk, aku menggeleng. Lalu aku mencoba menempelkan lagi tanganku ke lengannya.

Tiba tiba saja aku merasa giliran Aa yang berjengit.

Allahu Akbar! Kami berdua ternyata sama sama kikuk.

"Duh, kenapa gw kikuk gini.. " cetusnya meringis.

Dia lalu menatapku sebentar yang sudah menunduk tak karuan. Lhaa. kirain aku aja yang kikuk. Ternyata Aa juga.

Akhirnya aku melepaskan saja tanganku. Membiarkan dia berjalan sendiri seraya mengawasinya di belakang.

Eh, koq dia lancar aja jalan didepanku? Gak begitu sakit lagi apa?

Tak lama ku lihat ia duduk di sofa tengah dan menyalakan televisi. Tangannya sendiri sesekali masih asyik memainkan ponselnya.

Aku? Bergegas kembali ke meja makan membereskan sisa makan pagi kami. Sekalian juga aku menghindar dulu karena aura kecanggungan masih aja terasa.

Baru saja aku usai membereskan meja, bunyi bel dari pintu depan terdengar. Siapa nih pagi pagi bertamu?

Saat ku buka, ternyata teh Fani yang datang dengan jas putihnya.

"Lho.. katanya kamu sakit Ran? Sakit apa?"

Teh Fani langsung saja menyentuh dahiku dan memegang denyut nadiku.

Cinta Luar Biasa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang