20 - For the Last Time

2.5K 317 13
                                    

Fayi menatap wajah tenang Ansyari. Keputusannya sudah bulat, ia akan di sini untuk satu minggu ke depan menemani Ansyari.

Sebenarnya Fayi ingin sampai Ansyari bangun namun, Lukman hanya memberinya waktu satu minggu karena tidak ada yang tahu kapan Ansyari akan bangun.

"Bang, Abang gak cape apa tidur mulu? Fayi aja kadang kelamaan tidur palanya pusing. Lah Bang Aan apa kabar?"

"Gosah sok nge cosplay jadi putri tidur Bang, gak cocok."

Sedari tadi Fayi hanya mengoceh sendirian seperti orang yang tidak waras. Ia tau Ansyari tak akan menjawab, tapi Fayi berharap Ansyari mendengar semua celotehannya.

"Bang kalo orang ngomong itu dijawab jangan didiemin. Abang kalo kayak gini malah mirip Bang Fikri, tembok berjalan," gurau Fayi membuat Fikri menatapnya datar.

Fikri sedari tadi hanya duduk di pojok ruangan mempertanyakan kewarasan seseorang yang berstatus sebagai adiknya.

"Bang Fikri..." panggil Fayi membuat Fikri mendongakkan kepalanya dengan alis yang menyatu.

Fikri masih belum terbiasa dipanggil dengan nama aslinya oleh Fayi.

"Apa papa tau kondisi Bang Aan?" tanya Fayi. Sontak ekspresi Fikri berubah.

"Nggak," jawabnya singkat.

"Kenapa?"

"Kenapa harus? Apa dia bakalan peduli?"

Nada bicara dan ekspresi Fikri sudah cukup menjelaskan bahwa ia tak suka dengan pembahasan ini. Lebih tepatnya orang yang dibahas.

"Abang gak suka ya, sama papa?" tanya Fayi hati-hati.

Fikri hanya diam tak berniat menjawab pertanyaan Fayi. Fikri bukan tak suka, tapi ia sudah berada di tahap membenci.

Fikri benci laki-laki itu. Mereka seharusnya menjalani hidup yang bahagia namun, karena keegoisannya kebahagiaan mereka menjadi sirna.

"Bang, gimanapun juga, papa kan papa kita," ujar Fayi membuat Fikri tertawa hambar.

"Untuk seseorang yang cuman mementingkan keegoisannya apa masih bisa disebut 'papa'?" tanya Fikri membuat Fayi menunduk mengeratkan genggamannya pada jemari Ansyari.

Fayi tau yang Fikri rasakan sangat berbeda dengan apa yang ia rasakan. Fayi tumbuh bersama Wildan, sedangkan Fikri tak mengenal sosok itu. Ia hanya tau bahwa Wildan adalah orang yang egois--walau begitu kenyataannya.

Sejak kecil Fikri dan Ansyari kurang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Wildan, laki-laki itu hanya datang sesekali untuk menengok mereka.

Fikri dan Ansyari dipisahkan saat mereka kecil akibat keegoisan Wildan dan lemahnya Fayre yang tak bisa menolak permintaan suaminya.

Saat Fayre mengandung Fayi, Fikri sangat menantikan kehadiran adiknya, tapi Wildan malah merebut Fayi bahkan sebelum Fikri melihat adik kecilnya itu.

Fikri yang selalu bersama Fayre. Ia tau betapa seringnya Fayre menangis akibat merindukan anaknya. Betapa sakitnya hati Fayre saat Wildan selalu memilih Arlene dibanding dirinya. Fikri menyaksikan sendiri betapa tegarnya seorang Fayre menjalani kehidupan yang seakan tak berpihak padanya.

Lalu apakah ada alasan untuk Fikri tak membenci ayahnya sendiri?

"Seperti yang udah pernah gue bilang. Seharusnya kita hidup bahagia. Cuman kita berempat, mama, Aan, gue dan lo."

Fayi menatap nanar jemari Ansyari. Apa yang dikatakan Fikri memang benar, seharusnya sekarang mereka menjalani hidup yang bahagia. Tertawa bersama. Hanya mereka. Mereka berempat.

Akibat keegoisan Wildan, Fayi tak mengenal ibunya sendiri. Ia tak mengenal kakaknya.

Membayangkan mereka berempat yang sedang tertawa bahagia membuat Fayi tiba-tiba membenci Wildan.

Kalau saja Wildan tak egois, sekarang mereka sedang menjalani kehidupan penuh kebahagiaan dengan keluarga yang utuh.

Fikri beranjak dari duduknya. Ia hendak ke pasar untuk membeli kebutuhan mereka beberapa hari ke depan. Fikri memang selalu seperti ini apabila ia pulang. Meringankan sedikit pekerjaan Tante Fayra.

"Oiya besok gue balik. Lo jangan lama-lama di sini. Kita juga punya kehidupan. Lo harus kuliah dan gue harus kerja. Kita gak bisa terus-terusan di sini," tutur Fikri yang berdiri di ambang pintu.

"Iyaa.." jawab Fayi pelan membuat Fikri kembali melanjutkan langkahnya.

"Abang... Cepet bangun ya.. Kita semua rindu Bang Aan," gumam Fayi lirih dengan genggaman tangan yang tak lepas sedari tadi.

Fikri sudah kembali dari pasar dan mendapati Fayi yang tertidur dengan posisi duduknya.

Fikri berjalan pelan mendekati Fayi. Ia tersenyum lembut saat melihat Fayi yang masih saja menggenggam jemari Ansyari.

Fikri mengusap lembut surai sang adik. "Maaf udah bikin lo berharap lebih."

Sebenarnya ia tak ingin memberi harapan lebih untuk Fayi karena sejak awal tubuh Ansyari tak pernah memberi respon saat dokter memberi pengobatan.

Pada akhirnya alasan Fikri mencari Fayi adalah mempertemukan mereka berdua untuk yang terakhir kalinya.







26.04.2020

[✓] Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang