Dua Puluh

8.5K 1.2K 170
                                    

"Hati-hati di jalan. Kalau kebetulan berhenti untuk istirahat jangan lupa kabari terus, ya." Pita berucap pelan dengan berat hati melepas kepergian Rajasa.

Pria itu mengangguk mengiyakan. Setelah berpesan cukup banyak pada Pita akhirnya pria itu berlalu dari hadapan Pita meninggalkan Pita sendirian di pintu pagar indekostnya.

Bukan hal mudah menjalani apa yang sedang mereka lakukan sekarang. Mereka baru saja saling mengikat janji untuk mengikatkan diri masing-masing. Namun, beberapa saat kemudian harus terpisah jarak.

Setidaknya mereka masih patut bersyukur, mereka hidup di zaman yang serba canggih. Komunikasi bisa kapan pun dilakukan. Mereka juga bisa saling menatap wajah masing-masing meskipun di balik layar telepon pintar mereka. Setidaknya hal itu sedikit saja mampu mengurangi keinginan untuk bertemu.

Saat mobil Rajasa telah hilang dari pandangan. Pita pun beranjak memasuki indekosnya. Setelah menarik napas berkali-kali yang entah kenapa terasa sesak. Ia melebarkan senyumnya.

Kenapa ia harus bersedih? Bukankah saat ini ia sudah berganti status dari jomlo menjadi taken? Tidak masalah kan meskipun berjauhan dengan Rajasa untuk sementara, toh sebentar lagi mereka akan kembali bertemu dan semoga saja apa yang diharapkan Rajasa dalam hubungan mereka akan segera terwujud.

Dan, hey... Kenapa Pita begitu berkeinginan menyegerakan apa yang diharapkan Rajasa? Bukankah dirinya masih belum mencintai pria itu? Atau..., jangan-jangan hatinya pun sebenarnya sudah tertaut dengan pria itu tanpa Pita sadari. Entahlah.

Setidaknya satu hal yang pasti bagi Pita. Berdekatan dengan Rajasa adalah hal yang begitu menyenangkan dan Pita begitu menikmati hal itu. Jadi apakah hal itu sudah cukup dijadikan sebagai alasan untuk dirinya menerima kehadiran Rajasa dalam hidupnya? Ya, sepertinya hal itu lebih dari cukup, batin Pita terus beradu argumen.

***
Dua hari kemudian Dian kembali ke Malang. Begitu banyak oleh-oleh yang gadis itu bawa. Dan tentu saja Pita mendapatkan apa yang Dian bawa. Benar-benar gadis beruntung.

"Pit. Kebaya yang nanti dipakai untuk wisuda sudah siap, kan?" Dian bertanya di sela-sela kunyahannya. Gadis itu menikmati teri krispi, makanan gurih khas daerahnya yang kebetulan ia bawa dari rumah.

"Sudah dong. Salonnya juga udah beres, kan?" Pita dan Dian memang sudah memesan jasa make up untuk wisuda mereka di tempat yang sama. Semua hal memang mereka lakukan bersama.

"Sip, beres pokoknya," ucap Dian setelah sebelumnya meneguk air di depannya.

"Oh, ya ayah dan ibu kamu datangnya kapan ke sini?" Dian kembali bertanya.

"Satu hari sebelum wisuda. Emang kenapa?"

"Maksudku sih pengin aku kenalin sama ayah dan ibu. Ntar saudara-saudara ayah kayaknya juga pada pengin ikut."

Pita seketika menajamkan telinga. Apakah saudara ayah Dian yang gadis itu maksud adalah orang tua Rajasa?

"Emm... Emang siapa aja yang mau ikut, Di?" Pita mencoba mengorek informasi.

"Keluarganya Om Suryo yang pasti. Mas Rajasa juga ikut. Terus yang lain aku masih belum tahu. Kan mereka sekalian jalan-jalan ke Batu."

Pita mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan penjelasan Dian. Ia semakin yakin, apa yang telah Rajasa sampaikan beberapa hari lalu akan terlaksana. Membayangkan hal itu tiba-tiba dada Pita berdegup kencang. Akan seperti apakah jika hal itu benar-benar terjadi?

"Pit, saat ini kamu nggak lagi dekat dengan seseorang kan? Kalau setahuku sih nggak." Dian bertanya, tapi ia jawab sendiri.

Pita segera mengalihkan pikirannya dan fokus pada sahabatnya itu. "Kamu nanya apa barusan?"

"Saat ini kan kamu lagi nggak dekat sama seseorang. Lagi pula kan sebentar lagi kamu sudah wisuda." Dian menjeda kalimatnya. Diperhatikannya sahabatnya yang terlihat fokus pada dirinya.

"Suatu saat seandainya memang berjodoh. Seandainya ya. Kita kan nggak tahu siapa jodoh kita. Seandainya ada yang berniat untuk dekat dengan kamu, apakah kamu mau?"

Hening. Tak ada yang berucap baik itu Dian maupun Pita.

"Maksud kamu, Di? Perjelas lagi deh!" Meskipun Pita sedikit bisa menebak maksud ucapan Dian. Namun ia perlu memastikan agar tidak salah sangka.

"Aku ngomong kayak gini tolong jangan jadi beban, ya. Apapun yang terjadi nanti kita tetap sahabatan. Aku juga nggak mau gara-gara ucapanku ntar kamu malah menjauh." Dian menarik napas dalam kemudian mengembuskannya pelan. Berusaha menata kalimat yang akan ia lontarkan.

"Jika ada salah satu anggota keluargaku yang ingin mendekati kamu, apa kamu bersedia, Pit? Niatnya, aku yakin baik. Jika kalian cocok semoga menjadi jodoh." Pita seketika melebarkan senyuman. Berarti Rajasa telah membahas masalah hubungan mereka pada keluarganya. Bukankah Dian dan Rajasa pernah mengatakan jika apapun yang terjadi di dalam keluarga mereka akan dibahas bersama. Hal itulah yang hingga saat ini menjadikan keluarga besar Dian dan Rajasa selalu solid dan tetap rukun dalam menghadapi permasalahan apapun.

"Kalau emang niatnya baik, aku nggak keberatan, Di." Pita mengulas senyum yang seketika membuat Dian bernapas lega.

"Semoga kalian cocok dan berjodoh ya," harap Dian yang ikut mengulas senyum.

Pita hanya mengangguk mengiyakan. Ya, pasti menyenangkan jika suatu saat nanti ia akan menjadi bagian dari keluarga besar Dian. Jadi, meskipun mereka telah lulus, mereka akan tetap bersahabat dan berkumpul. Membayangkannya saja membuat senyum Pita tak pernah luntur.

###
Untuk versi lengkapnya bisa dibaca di buku ya. Masih ada stok di penerbit. Bisa cek ig yusniaikawijaya. Atau bisa baca ke Karyakarsa.

CINTAKU TERHALANG STRATAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang