"Kenalin, Pit. Ini Mas Ical." Dian segera berucap memecahkan kekaguman sahabatnya pada sosok sang kakak.
Pria dengan tubuh tegap menjulang itu menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk bersalamam pada gadis di hadapannya yang tak segera memberikan respons.
Dian yang paham dengan sikap sahabatnya segera menyenggol lengan Pita agar gadis itu segera menyambut uluran tangan sang kakak.
"Pit." Dian kembali berucap.
"Eh, oh. Iya." Pita tergeragap. Ia tersenyum blo'on menyadari kebodohannya. Inilah kelemahan Pita, terlalu mudah takjub pada makhluk berwajah di atas rata-rata. Ditambah lagi dada bidang pria itu yang terlihat kokoh dan begitu menggiurkan. Ehmm... Sandarable, begitulah kira-kira ucap batin Pita.
"Oh, hai, Mas. Aku Pita." Pita mengulurkan tangannya menyambut tangan kakak Dian yang sedari tadi menggantung menunggu sambutan tangannya.
"Haikal.l," jawab pria itu yang membuat alis Pita seketika bertaut. Dia tak salah dengar, kan? Siapa sih nama kakak Dian? Haikal atau Ical?
"Eh, maaf namanya Haikal atau Ical sih, Mas? Dian bilang barusan nama kamu Ical." Pita menggaruk keningnya yang tak terasa gatal. Seketika saja kedua sosok di hadapan Pita terbahak yang justru membuat Pita semakin kebingungan.
"Kok malah ketawa, sih? Ada yang lucu?" Setelah kedua kakak beradik itu menghentikan tawanya, sang kakak pun bersuara.
"Maaf, Pit. Ini berhubungan dengan kebiasaan masyarakat di sini. Kami memang sering memanggil seseorang jauh berbeda dengan nama asli mereka. Salah satu contohnya aku. Nama Haikal dipanggil Ical. Ada yang namanya Fathorrahman menjadi Pa'ong, Ismail dipanggil I'ik dan masih banyak lagi yang lain. Aneh, kan? Tapi justru itulah uniknya kami." Ical menjelaskan.
"Jadi jangan heran kalau ada yang panggil Dian dengan panggilan Didin." Ical menambahkan yang disambut Pita dengan tawa yang cukup keras. Dian seketika mengerucutkan bibirnya. Tanpa berbasa-basi ia mendahului kakak juga sahabatnya yang masih belum bisa menghentikan tawanya memasuki mobil yang terparkir tak jauh dari mereka berdiri.
Begitu mendapatkan perintah dari Ical, Pita pun segera menyusul Dian yang sudah memasuki mobil terlebih dahulu. Kali ini Pita dan Dian cukup beruntung. Travel bag yang menjadi sumber perdebatan mereka sejak pagi saat mereka berangkat tadi sudah diambil alih oleh Ical. Pria itu tanpa bicara, langsung mengangkat benda berat itu dan meletakkannya di bagasi. Setelahnya ia kembali ke kursi kemudi dan bersiap memacu mobil menuju rumahnya.
Di hari yang cukup terik meskipun matahari sudah mulai bergerak turun, Pita akhirnya sampai di kampung halaman Dian. Sumenep. Salah satu kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Madura.
Kabupaten dengan julukan Sumekar ini---yang merupakan akronim dari Sumenep Karaton karena semenjak dahulu di wilayah ini terdapat puluhan keraton atau istana sebagai pusat pemerintahan sang Adipati---terbentuk pada tanggal 31 Oktober 1269.
Nama Sumenep atau dalam bahasa Madura Songenep diartikan sebagai lembah atau cekungan yang tenang.
Kabupaten dengan ketinggian daratan sekitar tiga meter dari permukaan laut ini tercatat sebagai kabupaten penghasil MIGAS terbesar di Madura. Saat ini tercatat, setidaknya ada delapan perusahaan MIGAS yang melakukan eksploitasi dan dua perusahaan yang masih melakukan eksplorasi. Daerah ini juga termasuk ke dalam lima puluh daerah terkaya di Indonesia*
"Di sini udaranya selalu menyengat ya, Mas? Baru beberapa menit turun dari bus, wuih... Kulitku kayaknya bunyi cekit, cekit." Pita menghempaskan dirinya di jok belakang mobil Ical. Sedangkan Dian duduk di sebelah kakaknya yang mulai menjalankan mobil menuju rumah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTAKU TERHALANG STRATAMU
Literatura KobiecaMempunyai kekasih tampan, dermawan, baik hati dan bermasa depan cerah adalah impian Pita sejak lama. Dan ajaibnya hal itu terwujud pada sosok yang telah resmi menjadi tambatan hatinya. Namun, tentu saja kenyataan tak seindah harapan. Keluarga sang k...