Dua Puluh Satu

8.6K 1.1K 101
                                    

Hari berlalu begitu cepat. Komunikasi yang terjalin antara Pita dan Rajasa berjalan cukup lancar. Setidaknya mereka hampir setiap hari berkirim kabar. Sejauh ini Pita sudah bisa menyimpulkan bagaimana sifat Rajasa yang sebenarnya.

Pria itu adalah sosok yang hangat  namun bukan pria romantis yang bisa menebar kalimat-kalimat indah yang mampu membuat Pita melambung. Bagi Pita hal itu sudah lebih dari cukup. Keseriusan Rajasalah yang ia inginkan, bukan yang lain.

Hari yang dinanti pun di depan mata. Kedua orang tua Pita, Tirto dan Farida sudah tiba di Malang siang ini. Pita juga telah mengutarakan niatnya untuk mengenalkan seseorang setelah prosesi wisudanya besok.

"Wah, pasti laki-laki kan yang mau dikenalin sama Ayah dan Ibu? Duh, anak kita sudah dewasa ternyata, Yah. Habis wisuda besok. Langsung deh ngajuin proyek masa depan." Farida mengulum senyum sambil mengerling jahil pada suaminya. Pria di hadapannya hanya mampu tersenyum sendu menatap putri bungsunya yang kini telah beranjak dewasa. Sepertinya baru kemarin ia menimang bayi mungil di pelukannya. Sekarang ia telah melihat bayi mungil itu berubah menjadi gadis cantik yang begitu menenangkan hatinya.

"Kamu tahu mana yang baik, Nduk. Ayah hanya berpesan, jaga diri baik-baik, jaga kehormatan. Selalu ingat pesan Ayah dan Ibu. Berhati-hatilah dalam bersikap dan bertindak." Tirto berucap sambil menepuk pelan punggung Pita.

"Siapa pria itu, Nduk? Sudah lama kalian dekat?" Farida kembali membuka suara.

"Kerabatnya Dian, Bu. Pita kenal saat ikut Dian pulang. Dia langsung mengutarakan niatnya untuk mendekati Pita dan berniat menemui Ayah dan Ibu setelah wisuda."

Tirto mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Farida tampak berbinar mendengar jawaban Pita.

"Semoga dia menjadi jodoh terbaik kamu, Nduk. Eh tapi kamu memang nggak terpaksa kan mau menerima dia, ibu khawatir kamu sungkan sama Dian. Kalau kamu baru kenal sama dia, apa ya sudah ada rasa cinta?" Pita meringis mendengar ucapan ibunya. Wanita itu selalu tahu apa yang terjadi pada anak-anaknya.

"Pita nggak terpaksa kok, Bu. Pita sudah memikirkannya. Lagi pula niatnya baik, ngajak serius. Orangnya juga sopan dan sudah mapan. Meskipun saat ini Pita masih belum cinta, pasti sebentar lagi Pita juga akan cinta sama dia. Yang penting bagi Pita adalah perasaan dia. Pasti mudah jatuh cinta sama orang seperti dia, Bu." Farida seketika memeluk putrinya. Rasa haru menyeruak di dadanya. Ia tak menyangka anak gadisnya sudah berpikiran demikian jauh.

"Insya Allah, dia adalah yang terbaik untuk kamu, Nduk. Semoga," lanjut wanita itu.

***
Sore hari Dian bertandang ke indekost Pita. Gadis itu lagi-lagi membawa begitu banyak oleh-oleh untuk orang tua Pita. Beraneka camilan juga makanan khas daerahnya. Untung saja orang tua Pita juga melakukan hal yang sama. Mereka telah menyiapkan oleh-oleh untuk orang tua Dian. Meskipun belum mengenal kedua orang tua Dian, tapi karena Dian sudah beberapa kali ikut Pita pulang ke kampung halamannya, sedikit banyak kedua orang tua Pita merasa cukup mengenal orang tua Pita. Apalagi menurut cerita-cerita yang pernah Pita sampaikan. Orang tua Dian begitu memedulikan Pita.

Saat masih kuliah beberapa waktu lalu, ketika orang tua Dian mengirimkan sesuatu untuk Dian, Pita selalu mendapatkan hal yang sama. Dari sanalah akhirnya orang tua Pita pun melakukan hal yang sama. Setiap mereka mengirimkan sesuatu untuk Pita, misalnya makanan ringan atau sejenisnya, Dian pun mendapatkannya juga.

"Ibu, saya boleh minta izin ngajak Pita kan? Kami mau ke salon untuk memastikan sekali lagi urusan make up untuk besok." Setelah berbincang akrab akhirnya Dian meminta izin ibu Pita untuk membawa sahabatnya itu keluar.

"Silahkan. Hati-hati di jalan, ya. Oh, ya besok jam berapa kira-kira berangkat ke salonnya? Biar ayah antar," tanya ibu Pita.

"Jam lima, Bu. Pitanya nggak usah diantar. Besok bareng sama saya saja. Saya yang jemput."

CINTAKU TERHALANG STRATAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang