Aku masih mengingat kata-kata ayah kemarin, bahwa aku harus bisa bersabar untuk mendapatkan apapun dan aku akan selalu menuruti apa yang ayah perintahkan kepadaku kemarin hari saat aku dan kakakku diperintahkan untuk menjaga sawahnya saat siang hari.
Setelah kejadian itu, semua terlihat seperti biasa saja. Aku menjalani kehidupanku dengan bersekolah bersama kakakku, karena sekolahku dengan kakakku berdekatan dan tidak jauh dari rumah, aku lebih memilih untuk berjalan kaki karena aku suka suasana pagi hari dan lagi aku juga mengirit uang jajan harianku, burung-burung berkicauan ria dengan asiknya menghinggapi pepohonan rindang, warga desa melakukan kembali aktivitasnya, sedang ayah juga kembali menuju sawah. Tapi kali ini aku tidak dapat menemani ayah karena aku harus segera mengenyam pendidikanku untuk membahagiakannya kemudian hari. Itulah janji di dalam diriku yang ku tanam dalam-dalam untuk orang tua yang aku sayangi.
Beberapa lama perjalanan aku menuju sekolahku. Aku bercanda-canda dengan kakakku, walau ia masih terlihat muram semenjak kejadian kemarin. Aku mencoba bertanya dengannya. "kak, apa kakak masih mengingat yang ayah katakan kemarin?" ujarku. Ia terdiam tanpa jawab sepatah katapun, aku pikir ia sedang melamun memikirkannya. "sudahlah lupakan perkataan ayah kemarin, aku masih menyesalinya. Kita bersekolah saja, apa gunanya memikirkannya." Ujar kakakku dengan muka yang mengharukan karena kejadi kemarin. Tak terasa sekolahku sudah dekat, teman-temanku juga sudah menunggu di depan gerbang dengan semangatnya mereka datang pagi sekali, mereka bertiga temanku yang bernama Beni, Sigit, Naufal. Kami bertiga sekelas. Karena mereka ada piket kelas hari ini untuk membersihkan kelasnya sebelum murid lainnya datang menuju sekolah. Sebelum memasuki gerbang sekolah kakakku berpesan --belajarlah yang giat jangan buat dirimu hancur-- mungkin itu adalah pesan singkat untukku agar aku belajar lebih giat lagi dan memiliki semangat untuk hidupku.
Jam pelajaran pertama sudah dimulai. Pelajaran pertama ini adalah pelajaran Bahasa. Aku sangat menyukai pelajaran ini karena sebelumnya aku selalu diberi tahu dongeng, cerita, bahkan puisi yang indah. Aku diberi tahu oleh kakakku tentang pelajaran itu, karena nilai bahasa kakakku sangatlah bagus, ia suka sekali membuat puisi dan cerita pendek ketika ia sedang ada waktu luang. Sesekali aku membaca puisinya, ia membuatnya sangat indah. Tak sadar aku terdiam memikirkan kakakku itu. Hingga guru memanggilku karena aku tak memperhatikan "hei kamu arya coba jelaskan lagi apa yang ibu terangkan tadi". Aku paling tidak suka seperti ini ketika guru memanggil dengan beribu pertanyaan kepadaku, tapi aku tetap harus menjawab pertanyaan itu. "maaf bu tadi saya melamun, saya tidak tau apa yang ibu terangkan tadi." Ujarku dengan bingung. Guruku terlihat kesal dengan mimik wajah seperti beruang yang ingin mencekam mangsanya saat kelaparan, "kamu ini kerjaannya melamun saja, lihatlah catatan temanmu agar catatanmu tidak kosong seperti pikiranmu." Murid-murid yang lain tertawa karena celotehan guruku itu. "baiklah bu," kataku dengan malu ditertawakan oleh semua murid kecuali. Beni lalu memberiku catatannya, aku duduk bersebelahan dengannya. "ini catatanku, catatlah jangan melamun lagi!" dia memang rajin mencatat pelajaran bahkan hal sekecil apapun dia catat di bukunya.
Waktu istirahat telah tiba. Suasana ini adalah yang paling dinantikan murid-murid untuk bersenang-senang. Ada yang berlari menuju kantin hanya untuk membeli makanan atau mainan yang ingin dibelinya, bermain di tengah lepangan ditemani terik matahari, bahkan ada yang bergosip. Yah gosip adalah pekerjaannya para perempuan, entah apa yang akan dibicarakannya. Aku pun tak mengerti tentang perempuan mengapa ia suka sekali bergosip. Bahkan ibuku sesekali melakukan itu ketika ia berkumpul dengan teman sebayanya. Aku berkumpul dengan Beni, Sigit, dan Naufal. Kami duduk di bawah rindangnya pohon sembari membicarakan hal yang sangat menarik.
" hei kemarin apa kau menonton film baru terkenal itu?" ujar Naufal si maniak film.
"ah aku tidak dapat menonton tv karena kemarin hari aku menemani ayahku menggarap sawahnya sampai menjelang petang." Ujarku mengeluh karena tidak dapat menonton tv.
"kasihan sekali dirimu , padahal film itu adalah film yang paling menyedihkan menurutku". Ujar Naufal.
"aku juga tidak menonton itu naufal, film itu judulnya apa? Mungkin kalau ada tayanganya lagi di tv aku akan menonton itu atau aku akan menyewa CD-R (Compact Disc-Recordable), karena aku tertidur sangat pulas kemarin hari." Ucap Sigit dengan rasa penasarannya itu.
" episode itu berjudul Penyair yang Diusir Dari Rumahnya, film itu sangatlah sedih hingga membuatku menangis. Ben itu adalah ide terbaik untuk menyewa, tontonlah nanti" Ujar Naufal sambil tertawa dia membahas film itu.
"kau ini senang sekali membicarakan kartun, tahun depan kita akan lulus dari sekolah ini ingatlah dan belajarlah dengan giat agar kita bisa bersama-sama lagi di sekolah lain." Ujar Beni dengan wajah seriusnya yang selalu belajar karena ambisinya ingin
"ah kau terlalu serius sekali untuk menanggapi hal ini, bersenang-senanglah sebentar saja" ujar Naufal
Aku terdiam karena perkataannya Beni hingga membuat kami terdiam dan berpikir untuk melaksanakan ujian kelulusan nantinya. Aku tak sadar bahwa waktu tak terasa sangat cepat berlalu hingga kini aku sudah mau beranjak remaja dan menempuh sekolah menengah pertama.
Jam istirahat telah selesai, dan kembali menuju pelajaran-pelajaran yang membosankan. Walaupun sekolah membuatku bosan tapi aku tak akan lupa dengan janjiku yang ku tanam dalam-dalam di jiwaku ini.
Tak terasa guru menjelaskan apa yang ia jelaskan, bahkan terkadang apa yang guru ajarkan hanya selintas bertamu sebentar di dalam otakku, seperti masuk menuju kuping kanan memberi salam kepada otakku dan keluar menuju kuping kiri. Hal itu pasti akan terjadi ketika aku sekolah. Sampai tiba waktu pelajaran terakhir yang membuatku tergesa-gesa ingin segera pulang kerumah dan beristirahat sejenak dirumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Layang-layang
General FictionArya hanyalah anak kecil yang bermimpi ingin terbang seperti layang-layang. Ia tumbuh besar ditemani dengan kebahagiaan yang ia alami saat-saat ia menjalani kehidupan yang telah ia jalani. Namun ketika ia beranjak dewasa masalah mendatanginya. Bukan...