Gemuruh di desa masih terjadi saat aku masih tertidur, aku tak tau apa yang terjadi diluar sana. Menoleh mataku ke luar jendela. Sorot lampu menyinari kepingan-kepingan reruntuhan rumah. Ada yang hancur dan runtuh di desa ini satu persatu. Tangisan bergemuruh riuh dimana-mana. Aku tak tahan mendengar tangisan itu. Segera aku membangunkan badanku yang masih setengah sadar ini untuk sekadar melihat keluar. Semuanya berjaga dengan kelopak mata yang sudah menghitam, bola matanya melirik ke arah sorotan lampu itu. Sesekali ada yang menghampiri sorotan itu dengan tangisan yang pecah. Rintihan air mata memecah suasana dini hari. Tepat pukul 3 pagi semua warga berkumpul, berkerumun di tiap jalanan memandangi penderitaan yang telah terjadi.
Ada yang datang!
Salah satu warga datang menghampiri kerumunan warga disini. Ia menangis tersedu sedan dengan wajahnya yang telah kotor dengan serpihan debu dan tanah. Ia mengatakan bahwa alat penghancur lahan sudah bergerak semenjak semua warga telah tertidur lelap, mereka diam-diam menghancurkan sawah-sawah dan rumah yang berdekatan dengan sawah. Ada lagi yang datang seorang ibu-ibu tua yang sudah berjalan dengan terbata-bata. Ibu itu sudah tak dapat lagi berbicara, perawakannya sudah bungkuk tak kuat menahan beban dunia yang dialaminya selama dia hidup, ditambah lagi rumahnya kecilnya sudah hancur dilahap mesin penghancur. Ia jatuh! Warga segera membopong ibu itu. Ia berbicara dengan nafas yang sesak karena menahan tangis, ibu itu mengatakan rumahnya di guyah oleh roda-roda penghancur, hanya terisisa debu berterbangan di atap rumahnya yang kini tak lagi tegap menatap langit malam yang dipenuhi bintang.
Malam ini sungguh kisruh, riuh suasana membuat warga panik berlarian menuju sorotan lampu. Sekiranya sudah melebihi dua jam alat penghancur itu bergerak mendekati pertengahan desa. Secepat ini penderitaan datang menuju kampong halamanku, alat itu berada dekat dengan sawah milik ayah. Aku sama sekali tak melihat kakakku kali ini. Kutegaskan pandanganku ke kerumunan itu untuk mencari perawakan kakakku. Kulihat dia sedang berdiri diam terpaku melihat sebagian sawah ayah sudah dilanda bencana yang telah dibuat oleh manusia sendiri. Ia menangis terdiam tanpa suara. Air matanya jatuh menuju tanah. Kuhampiri dia segera dan memeluk erat tubuhnya yang kian lemas saat ini. Aku tak menerima semua ini, penderitaan sudah berada di ujung kelopak mataku sendiri yang kusaksikan dengan kesedihan yang ku alami saat ini. Kakiku bergejolak ingin berlari menuju alat besar itu. Tapi ada yang menahanku sangat erat ketika aku ingin pergi menuju sawah ayah.
"Tunggulah sebentar! Hingga matahari menunjukkan dirinya." Ujar kakakku menahanku.
"Apalagi yang harus ditunggu kak? Aku ingin segera kesana menyelamatkan sawah milik ayah. Ini sungguh keterlaluan, mereka licik berencana jahat di malam hari ketika semua warga sedang beristirahat dengan lelap di rumahnya. Mereka telah mengambil tanah kita tanpa ada persetujuan apapun!" Ujarku dengan kesal. "Lepaskanlah genggamanmu ini! aku ingin segera pergi kesana."
"Jangan dulu! Kubilang tunggulah sebentar, kau tak tau bahaya apa yang akan mengancammu disana ketika kau pergi dengan dirimu sendiri kesana. Kita tunggu para warga untuk bertindak." Ujar kakakku memberitahuku.
Kutahan air mataku yang telah membendung di kelopak mataku yang sayup ini. kesedihan mulai melanda diriku, kemarahan menghempas nyawaku menuju cakrawala pagi yang mulai datang di temani sinar matahari yang malu-malu muncul menuju bumi. Para warga mulai berdatangan dengan emosi yang mereka miliki.
Pagi sudah datang, langit tak lagi bersih di desaku dipenuhi debu berterbangan yang membuat dadaku sesak, burung tak lagi ingin berkicau dan pergi dari desaku seakan bencana besar akan melanda desaku sampai waktu yang tak tau kapan akan berakhirnya. Lahan yang dulunya berwarna hijau dipenuhi oleh padi yang menjulang ke langit kini rata oleh tanah menjadi berawarna hitam kecoklatan. Embun pagi berganti menjadi asap yang menyelimuti rumah-rumah warga yang sudah tak memiliki atap kokoh yang menjulang menuju langit. Kepala desa menyeringai melihat keadaan sekitar, petugas keamanan dengan gagahnya berdiri tegap menjaga alat besar yang akan menghancurkan tanah dan rumah di desa ini. Para kontraktor bangunan memandangi kesedihan warga dengan kesenangannya sendiri. Pengusaha tertawa lebar melihat sawah berubah menjadi tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Layang-layang
General FictionArya hanyalah anak kecil yang bermimpi ingin terbang seperti layang-layang. Ia tumbuh besar ditemani dengan kebahagiaan yang ia alami saat-saat ia menjalani kehidupan yang telah ia jalani. Namun ketika ia beranjak dewasa masalah mendatanginya. Bukan...