Pada hari ini saat seleksi masuk, aku lansung di tempatkan di dalam ruangan yang sangat besar. Ramai sekali disini. Dicampur dengan para peserta yang akan melaksanakan seleksi, kebanyakan seperti orang dari kota-kota besar. Aku merasa seperti dipandangi aneh saat bertemu mereka, seolah mereka membuat pernyataan seperti aku adalah anak desa yang mustahil untuk memasuki perguruan tinggi. Tapi tiba-tiba ada suara seperti pemberitahuan bahwa seleksi akan dimulai. Semuanya bersiap memasuki ruangan khusus untuk melaksanakannya. Aku dipindah-pindahkan dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Begitu tiba di ruangan yang telah ditentukan oleh panitia penyelenggara tes aku lansung segera duduk di kursi yang telah disediakan.
Sepanjang test seleksi ini aku merasa sangat bersemangat sekali. Sementara cahaya matahari menyinari ruanganku ini. Aku merasa sedang ditemani oleh cahaya itu. Cahaya itu menerangi tiap sudut ruangan yang gelap. Sebelum memulai aku tidak lupa memohon dan berdoa kepada tuhan untuk dilancarkan segalanya. Suasana begitu indah, namun ketika datang pengawas semua seperti sedang ada dalam bahaya besar. Peserta menjadi tegang karena pengawas itu terlihat sangatlah kejam sekali. Tatapan matanya selalu tertuju kepada peserta, tanpa lengah sekalipun ia juga tak pernah berkedip sekalipun. Bola matanya seakan mau keluar.
Kali ini aku berhasil melewati test dengan nyaman tanpa gangguan apapun. Mungkin karena aku sudah belajar dengan giat dan usahaku terbayarkan tak sia-sia. Waktu menunjukkan untuk berisitirahat selama 1 jam. Hari juga sudah menjadi siang, terik matahari sudah terasa menyakitkan tulang-tulangku. Aku berlindung di pohon rindang besar yang ada di lingkungan ini. Memang pohon sangatlah tepat untuk disinggahi ketika siang hari. Saat matahari sudah di atas kepala, pohon yang telah melindungiku dari sinar ultra violet yang menusuk kulit hingga menuju tulangku.
Jam istirahat sudah selesai. Aku bergegas lansung menuju ruangan yang tadi kusinggahi. Kali ini test yang kedua, aku berharap ini tidaklah sesulit yang aku bayangkan. Pengawas sudah tiba sebelum aku datang, aku kira karena aku terlalu nyaman berteduh dari sinar matahari membuatku terlambat, ternyata memang dia sudah duduk sedari tadi. Padahal belum waktu test belum dimulai. Aku pikir dia sangatlah rajin sekali.
Sepanjang waktu aku mengikuti test ini sangatlah terasa lama. Mungkin karena aku terlalu terpengaruh masuk ke dalam jurang besar yang sangat dalam. Seperti aku harus memanjat keluar dari jurang itu melalui soal-soal ujian yang aku hadapi. Terlihat sangat suram untuk dinikmati. Aku harus menikmatinya meski ini sangatlah sulit untuk dinikmati.
Sore hari sudah tiba. Test seleksiku berjalan dengan sempurna, aku hanya akan menunggu hasilnya nanti. Kalau pun aku akan diterima di perguruan tinggi, ini akan menjadi sesuatu yang membagakan bagiku, apalagi untuk kedua orang tuaku. Kisah ini menjadi suatu penghargaan bagiku. Aku akan serius menjalani pendidikan di perguruan tinggi nanti. Aku tak sabar menunggu hasil test itu.
Aku lupa untuk sekadar melihat ponselku. Kali ini aku sudah mempunyai ponsel untuk memberitahu kakakku. Aku mencari ponselku di tas ranselku. Terlihat pemberitahuan di layar ponselku sangatlah banyak. Panggilan telepon dari kakakku juga tak sempat aku angkat saat menjalani test ini. lalu aku melihat pesan singkat kakakku. Dia mengatakan untuk segera pulang seusai melaksanakan seleksi ujian masuk perguruan tinggi. Aku kira ini adalah hari dimana aku akan menjalani makan malam bersama keluarga karena sudah melaksanakan test seleksi. Aku lansung bersiap untuk pulang.
Setibanya aku di depan gerbang desa, suasana sangatlah ramai sekali. Banyak sekali coretan di tembok yang tertulis "Desa kami tidak butuh beton dan tembok besar, kami mengirim padi untuk manusia bukan mengirim penderitaan untuk manusia." Seperti ada hal yang terjadi saat aku melaksanakan test itu aku lansung bergegas pulang kerumah untuk mencari tahu apa yang terjadi di desa.
Ayah terlihat sangat murung di teras rumah. Ia termenung memandangi halaman rumah dengan tatapan kosong. Aku melihat bola mata ayah terlihat kosong sekali dengan tatapan yang muram itu. Ia melihatku dengan murung dan mengatakan kalau ia tidak tahu nantinya apakah bisa membiayaiku untuk kuliah kalau aku diterima di universitas. Aku bingung karena ucapan ayah itu. Aku lansung menuju ke kamar kakak. Ibu juga terlihat sangat murung tapi tidak ada yang memberitahuku apa yang sedang terjadi.
"Kak sebenarnya ada apa ini, apa yang telah terjadi?" ujarku tergesa-gesa.
"Kemarilah ikut kakak berjalan sebentar." Ujar kakakku mengajakku keluar rumah.
Aku dan kakakku lansung menuju ke kedai minuman paman. Paman juga sepertinya terlihat sangat cemas karena keadaan desa ini.
"Arya semenjak kau pergi mengikuti test seleksi terjadi hal besar disini. Kepala desa diam-diam menyetujui pembangunan perusahaan di desa ini tanpa sepengetahuan warga desa. Ia berkelompot dengan para pengusaha besar akhir-akhir ini. Sawah warga akan terkena dampaknya. Salah satunya yang terkena adalah sawah ayah, dan itu bukan hanya sebagian sawah ayah. Pengusaha itu membangun perusahaan itu yang letaknya di lokasi sawah ayah. Dan sawah ayah terkena semuanya. Tak ada yang tersisa. Ayah tak dapat ganti rugi." Ujar kakakku menjelaskan keadaannya.
"Apakah itu benar, apa kau hanya bergurau kak? Aku yakin kau hanya bergurau!" Ujarku dengan kesal.
"Aku tidak bergurau, aku serius melihatmu. Kau sendiri melihat kan bahwa di depan gerbang desa ada tulisan peringatan? Itu adalah salah satu penolakan warga. Ayah tidak mau salah satu dari keluarga kita terlibat masalah ini. Ayah mengatakan akan mencari pekerjaan untuk membiayaimu dan keluarga kita." Ujar kakakku.
"Terus apa kakak akan tinggal diam saja karena sawah ayah akan di babat habis oleh orang itu. Kepala desa itu sungguh benar-benar kejam!" Ujarku
"Kakak sebenarnya ingin melawan kepala desa itu. Namun ayah sudah memperingati kakak, kamu juga tau kalau ayah sudah memberi peringatan tidaklah main-main seperti dulu saat kita kecil." Ujar kakakku.
"Tapi ini adalah sawah ayah. Aku akan bergabung bersama warga kalau begitu untuk melakukan perlawanan pada kepala desa itu!" Ujarku dengan marah.
"Kau serius untuk melakukan itu. Kalau itu maumu kakak akan membantumu sebagai seorang kakak aku tidak mau terjadi sesuatu padamu. Kita diam-diam tanpa sepengetahuan dari ayah." Ujar kakakku
"Baiklah kita harus bersiap." Ujarku
Setelah itu kami bergegas pulang menuju rumah. Tapi kami terhenti karena paman penjual minuman memanggil kami.
"Aku mendengar pembicaraan kalian. Tempat ini adalah tempat berkumpul para warga, aku juga tak tahan dengan perlakuan kepala desa itu. Datanglah kemari saat sore hari. Itu adalah waktu yang tepat untuk warga berkumpul." Ujar paman itu memberi tahu kami.
"ah baiklah paman kami akan datang, terima kasih sudah membantu kami dengan memberi informasi yang sangat berguna." Ujarku.
Lalu kami bergegas pulang kerumah dengan murung, aku sangat membenci halini, hal yang akan sangat menjadi penderitaanku dan orang-orang sekitarku. Akuharus bersiap untuk ini. Karena ini adalah perjuanganku untuk mempertahankanlahan ayahku. Juga lahan para petani desa yang ada disini. Ternyata benaradanya penderitaan yang telah di beritahu oleh kakakku—bahwa suatu saat akuakan mengalami kesulitan hidup bukan hanya kesenangan saja—itu adalah ucapanyang telah terucap oleh kakakku waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Layang-layang
General FictionArya hanyalah anak kecil yang bermimpi ingin terbang seperti layang-layang. Ia tumbuh besar ditemani dengan kebahagiaan yang ia alami saat-saat ia menjalani kehidupan yang telah ia jalani. Namun ketika ia beranjak dewasa masalah mendatanginya. Bukan...