Matahari mulai nampak saat Nara masih termenung dalam pikirannya. Air mata yang sejak tadi tak berhenti turun mulai mengering meninggalkan bekas. Terlihat menyedihkan dengan mata sembab dan rambut yang berantakan. Mengetahui fakta kakaknya telah tiada.
Pukul 01.43 menjadi detik terakhir Arkin berada di dunia. Nara hanya bisa melangkah sampai taman kota dekat apartemen, tak peduli orang-orang menatapnya jua tak peduli tentang kecemasan keluarganya. Yang ia inginkan hanyalah sendiri.
Surat berwarna biru muda itu membuatnya makin frustasi dan hancur. Semua fakta sudah tertulis di sana. Rasanya tidak ingin menerima tapi tidak bisa mengelak. Sudah 5 jam Nara duduk di sini, matahari pagi seakan menjadi satu satunya yang mengerti dan baik, ia mulai menampakkan sinar yang mampu menghangatkan tubuh kedinginan Nara. Setidaknya masih ada yang peduli.
"Mungkin beribu maaf tidak akan merubah apapun tapi...maafkanlah semuanya jika hatimu sudah membaik...berjanjilah."
Nara menghela napas, semudah itukah memaafkan? Kapan hatinya akan sembuh pun tidak akan ada yang tahu kecuali dirinya sendiri.
Nara menekan password apartemen milik Arkin setelah memaksa kakinya yang masih bergetar untuk berjalan meski pelan. Klik
"Kakak terlalu pengecut, Nara. Kakak hanya bisa lari dan bersembunyi tanpa bisa menghadapinya. Apartemen ini adalah milikmu sekarang. Jagalah..."
Tangan Nara menyusuri bingkai-bingkai fotonya dengan sang kakak, semuanya tentang Nara. Sepertinya Arkin membuat apartemen ini terasa hangat dengan konsep desain interior yang sederhana tapi tidak kosong. Warna krem mendominasi seluruh ruangan, Nara baru saja menyadari jika semua hal di apartemen ini diisi oleh barang-barang yang Nara dan Arkin sukai.
Langkah Nara terhenti di depan kamar Arkin. Perlahan tangannya bergerak untuk membuka knop pintu kamar itu. Nara tersenyum kecil, kamar kakaknya selalu rapi mengingat dia suka kebersihan. Terlihat sama seperti kamar laki-laki pada umumnya. Nara duduk di sofa mangkuk dekat jendela, setelah mengangkat sebuah gitar kesayangan Arkin.
"Kak," Nara terlihat manyun saat merengek manja pada Arkin.
"Hei, adik Kakak kenapa hm? Pulang-pulang wajah macam belimbing wuluh, kecut!" Arkin tertawa saat menggoda sang adik.
Muka Nara makin sepat saja. "Kak, Nara sebel ih!" Gadis berseragam putih-biru itu menghentakkan kakinya tapi kemudian beringsut memeluk lengan Arkin.
"Sebel sama siapa? Gebetan?" Rasa-rasanya Arkin ingin sekali tertawa kencang tapi tak tega melihat adiknya yang benar-benar mendung.
"Kak, dia tega sekali sih, masa tadi di depan teman sekelas dia nyanyi sambil gitaran buat cewek di kelasku abis itu dia nembak terus mereka jadian TT," adu Nara.
"Haduhhh sedihnya," Arkin pura-pura terlihat sedih namun dia malah mencubit pipi Nara gemas.
Nara sudah menepis tangan nakal Arkin yang mengusak rambutnya hingga berantakan. "Kakak ih!"
"Udah nggak usah galau lagi." Arkin tersenyum lalu mengambil gitarnya yang bersender di sofa ruang tengah. Apa pula yang dilakukannya, pikir Nara.
Tak lama tangannya yang mahir memetik sinar gitar menimbulkan nada-nada diiringi suaranya yang jauh lebih merdu dari cowok yang mematahkan hati Nara tadi siang.
Tapi tunggu...lagunya sama! Memang terdengar romantis namun sedikit menyebalkan. Walau begitu, Nara tetap tersenyum, menghargai usaha kakaknya yang sedang berusaha mengembalikan moodnya.
"Udah nggak usah sedih lagi, masih ada banyak cowok di dunia nggak cuma dia doang. Ada Kakak yang selalu sayang sama kamu."
"Iya, Kakak akan selalu ada walaupun dunia kita berbeda," gumam Nara memeluk gitar kesayangan Arkin. Dari jendela, terlihat kehidupan di luar mulai berjalan, kendaraan-kendaran mulai memadati jalanan. Apapun yang terjadi dia harus kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Don't Know-Third ♡
Hayran KurguYou don't know . . . Bahasa non baku... Masih acak-acakan dan belum direvisi Start : 14 April 2018