25

76 5 2
                                    

Makan malam yang cukup mengejutkan tapi biasa saja. Sebenarnya Nara tidak perlu kaget. Toh dalam surat yang ditulis kakaknya sudah diceritakan semuanya. Tapi bohong jika Nara bersikap seolah-olah tidak apa-apa. Nyatanya dalam hati seperti ada duri yang menancap terlalu dalam. Jika boleh bertanya, kenapa harus terjadi kepada dirinya.

"Boleh Tante duduk?"

Nara menoleh mendapati tante Zua sedang berdiri tak jauh darinya. Dia memang tak langsung pergi ke kamar untuk istirahat tetapi dia sedang duduk di tepi kolam renang indoor di rumah ini.

Nara hanya mengangguk sebagai jawaban. Senyum tipis tante Zua terlihat tulus. Sampai kapanpun Nara tidak akan pernah benci dengan wanita paruh baya itu.

"Ternyata dunia sesempit itu. Bahkan, Tante nggak pernah nyangka kalau gadis yang Tante curhati adalah orang yang Tante sakiti." Nara diam tidak berniat menyela.

"Tante turut berduka atas kepergian kakakmu. Tante berharap kamu mau memaafkan Tante, Nara."

Nara menatap kolam dengan sendu. "Papa yang salah kenapa Tante yang minta maaf, semua itu udah berlalu dan Nara nggak akan membenci siapapun."

Ya, tidak ada kebencian, tetapi kekecewaan yang begitu mendalam. Mereka berdua hanya terdiam. Lebih tepatnya memilih berkutat pada pikiran masing-masing, mengenang hal-hal yang pernah dilalui.

Atmosfir rumah ini benar-benar berbeda dari sejak Nara meninggalkan jejak terakhir di sini. Boleh dibilang...semuanya palsu.

"Tante ah- apa aku harus memanggil tante...Ma-ma?"

Nara menunduk kembali mengingat satu fakta yang mungkin menyakiti tidak hanya dirinya tapi perempuan paruh baya di sampingnya kini. Wanita itu nampak tersenyum teduh dalam pantulan air kolam.

"Tante jadi rindu dengan anak perempuan Tante yang sudah tiada. Hhh...katanya kamu demam, istirahat di kamar ya, jangan lama-lama di sini."

Tepukan pada bahu Nara mengakhiri obrolan singkat mereka. Hingga wanita bernama Zua itu pergi, Nara tak sedikitpun bergeming.

"...dia kakak kamu, Ra."

"Aku khawatir, tapi syukurlah kamu baik-baik aja." Suara berat Third memecah keheningan. Tanpa izin, laki-laki itu ikut duduk memandang kolam.

Nara tersenyum kecil. "Hm...seperti yang kau lihat."

"Aku nggak nyangka..."

"Aku juga," potong Nara cepat.

Mereka terdiam dalam kecanggungan. Teringat kembali moment pertemuan absurd mereka hingga suatu kesalahan terjadi...atau hanya Nara seorang yang merasakannya.

"Kita udahan ya-umm hhh tapi kita kan nggak pernah jadian," Nara tertawa miris. Namun, tak disangka Third hanya menoleh singkat lalu kembali memandang air.

"Hmm, apa aku bisa memaksa?" lirih Third yang lebih terdengar pasrah bukannya bertanya.

Nara menggeleng pelan. "Tidak."

"Baiklah."

Lidah Nara tercekat seketika. Apa yang dimulai sudah berakhir. Tinggal fasa penyembuhan atau mungkin melupakan.

"Aku ke kamar dulu," pamit Nara melangkah pergi meninggalkan Third yang hanya bisa memandangi tubuh kurus Nara menjauh.

"...ada cerita lama yang tidak kamu tahu. Kau pasti mengenal laki-laki bernama Third. Dia adalah anak tiri Papa. Sebelum Papa menikah dengan Mama, beliau pernah menikah siri dengan mamanya Third hingga memiliki seorang putri. Namun, mereka harus berpisah karena paksaan keluarga. Tidak, mereka tidak bercerai. Setelah itu, Papa menikah dengan Mama dan Mama Third menikah dengan orang lain..."

You Don't Know-Third ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang