24

77 6 3
                                    

"Sshh..." rintih Nara saat obat merah menyentuh luka gesekan dengan aspal sore tadi.

"Tahan ya, Sayang."

Nara menatap rindu wanita paruh baya yang ada di depannya kini. Setelah ditinggal oleh kedua temannya, Nara dibuat terkejut saat sang mama mendatangi halte bus. Dia tidak bisa menolak saat wanita itu membawanya pulang apalagi badannya mulai menggigil dan lemas.

"Mama ngapain di sana?" tanya Nara yang kini menyandar headboard setelah lukanya diperban.

Tiba-tiba mama memeluk Nara erat. "Mama kangen sama kamu, Nak. Mama berharap setiap kali lewat sekolahmu Mama bisa menemuimu," bisiknya pilu.

Nara terdiam merasa bersalah. Dia sadar yang terluka tidak hanya dirinya seorang. Masih ada sang mama yang bertahan.

"Mama cemas setelah kepergian kakakmu siapa yang melindungimu. Malam itu kenapa kamu malah pergi nggak menemui Mama?"

Bibir Nara Kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan Mama. Kedua tangannya bergerak membalas pelukan, mungkin hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini.

Tak lama Mama menjauh dan melepas pelukan hangatnya. Dia tersenyum lalu mengusap Surai Nara. "Kamu istirahat aja ya, badan kamu panas, Mama mau masak dulu biar kamu bisa makan terus minum obat."

Nara mengangguk menatap punggung mamanya yang menjauh menuju pintu kamar. Nara mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar yang sudah lama ia tinggalkan. Masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah bahkan benda-benda miliknya masih tertata sesuai tempatnya.

Saat Nara tiba di rumah tadi, tidak ada siapapun selain mama dan dirinya. Papanya pasti masih bekerja dan belum pulang.

"Kakak punya sesuatu di kotak biru muda yang ada di kamar Kakak. Di rumah bukan di apartemen. Semoga kamu bisa memikirkannya."

Nara ingin sekali ke kamar Arkin tetapi dia sadar tubuhnya butuh istirahat, dan juga kepalanya masih sangat pening. Apakah kejadian tadi bisa disebut bullying? Entahlah...jika nanti mamanya bertanya lagi kenapa bisa basah begitu, Nara akan bilang, ada temannya yang iseng. Tidak penting mengurusi mereka, nanti juga jengah sendiri.

Mata Nara terpejam lalu terbuka lagi, dia tidak berniat untuk tidur karena memang tidak baik terlelap saat menjelang malam seperti ini. Namun, saat terdengar ketukan pada pintu kamar, dengan segera dia menaikkan selimut lalu pura-pura tidur.

Suara pintu terbuka mendukung aksi Nara dalam kepura-puraannya. Dia tahu bahwa orang itu adalah Valex, papanya. Tangan besar milik sang papa mendarat ke dahi Nara lalu dengan lembut mengusap surai gadis itu. Hembusan napas lelaki yang hampir kepala lima itu terdengar berat dan letih.

"Cepat sembuh ya, Sayang"

***

"Nara, bangun yuk, makan dulu."

Nara mengerjap selama beberapa detik. Rupanya hari sudah menggelap, niatnya hanya pura-pura tidur tetapi malah keterusan. Nara melirik jam di atas meja. Masih pukul 18.06 biasanya makan malam sekitar jam tujuh malam.

"Nara mau cuci muka dulu ya, Ma." Nara menyibak selimut sembari mengucek-kucek mata.

"Tapi kamu masih demam, Nak. Kalau kedinginan gimana?"

Nara cemberut, mempoutkan bibirnya lucu. "Nggak papa, Ma. Nara keliatan jelekk banget ini."

Mama menghela napas lalu mengangguk. Tidak akan bisa melarang gadis keras kepala seperti putrinya ini.

"Yaudah Mama ke bawah dulu ya, nyiapin makan malam."

"Mau Nara bantu?" tawar Nara sebelum masuk kamar mandi.

"Nggak usah, Sayang. Nanti kalau udah siap Mama jemput."

Nara terkekeh. "Kaya tuan putri aja, Ma."

Mama tertawa ringan. "Kan Nara memang tuan putrinya Mama."

Kalau boleh jujur, momen-momen seperti ini yang sangat dirindukan Nara. Percakapan kecil dan candaan singkat ini bisa sedikit mengobati luka. Luka yang entah kapan sembuh. Saling menguatkan lewat senyum dan tawa meski hanya sekedar kepura-puraan.

Hari ini tepat tanggal 12, yang artinya sudah dua tahun kejadian memalukan saat menjadi siswa baru waktu itu. Hari dimana dia bertemu dengan dua laki-laki lalu terjebak dalam hukuman bersama mereka keesokan harinya. Berawal dari pesan Aynam yang tidak tepat dan kebodohan dirinya.

Mungkin kisah Nara hanyalah satu dari segelintir kisah mainstream lainnya tapi ia tidak menyesal. Nyatanya setelah berlalu semua itu terkenang dan mungkin bisa diceritakan.

Nara menatap dirinya dari pantulan kaca. Percaya tidak percaya dia sudah melewati banyak kejadian. Setelah ini apalagi?

"Lo jelek banget, Ra." Nara mendengus setelah mengatakan itu.

Setelah mengganti baju dengan yang lebih hangat, dia duduk di pinggir ranjang dan melihat sekeliling kamar tidak jelas. Siap tidak siap harus siap. Semua akan baik-baik saja. Hanya waktu yang akan mengobati, tidak ada yang lain.

Tok tok tok

Pintu lalu terbuka setelah bunyi ketukan ketiga.

"Ayo kita makan Ra, mereka sudah menunggu," ajak sang mama yang tersenyum kecil menarik lembut tangan Nara.

Ibu dan anak perempuan ini turun ke bawah. Di meja makan sudah ada tiga orang yang duduk dalam diam. Nara tidak akan bertanya 'siapa mereka?' dia sudah tahu. Ya, semuanya tak terkecuali. Seorang wanita seumuran dengan mamanya dan anak laki-lakinya. Tidak perlu kaget, kan?

"Ayo duduk," mamanya membawa Nara untuk duduk bersama di meja makan.

Mata mereka bertemu. Sorot mata yang tidak bisa diartikan. Jika bisa, ingin rasanya hilang sejenak dari bumi.

"Sayang, kamu sudah baikan?"

Nara menoleh ke arah papanya lalu mengangguk sebagai jawaban. Lalu sang papa mengusak lembut rambut Nara. Perlakuan kecil seorang ayah yang merindukan putri semata wayangnya.

"Oh ya, Nara. Itu ada tante Zua dan putranya, salam dulu, Nak," ujar mama saat suasana menghening.

"Selamat malam, tante Zua. Nama saya Nara." Nara sebisa mungkin memaksakan senyumnya.

Ingat dengan tante Zua? Wanita paruh baya yang pernah Nara dengar curhatannya saat tak sengaja menendang batu dan mengenainya. Nara terdiam beberapa saat. Berpikir apakah wanita itu masih mengenalnya.

"Malam juga, Nara," ucap tante Zua ramah tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Nara paham akan hal itu. Namun dirinya sudah tahu sejak awal.

Nara menoleh pada laki-laki seusianya. Cukup lama berpandangan dan berpikir.

"Salam kenal, Nara." Pura-pura lebih baik.

Laki-laki itu tertegun. Bola matanya bergerak menghindari kontak mata dengan Nara. Terpaksa...

"Ya, salam kenal, Third..."

***

Hayo ada apa itu 👀 yah gantung lagi heuheu...

Part selanjutnya bakal ada sesuatu :) kalau mau tau ada apa sebenarnya sama keluarga Nara stay tuned sampai part selanjutnya...

Happy reading

Jangan lupa vote n commentnya^^

You Don't Know-Third ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang