04| Adorasi Dimas

197 72 65
                                    

–Sekedar yang pernah singgah, menyapa lalu pergi. Apakah kamu benar-benar tak punya nyali?–

Dimas pikir semuanya akan dengan mudah membaik, akan segera pulih dan kemudian menjadi normal kembali. Tapi ternyata adalah waktu yang akan menentukan segalanya.

Mendapat perhatian Vio sekarang sukit baginya. Gadis itu seperti masih menyimpan trauma akan kejadian tempo hari. Apalagi sekarang Vio sudah diincar oleh Diva, bisa kapan saja Diva melabrak Vio jika gadis itu bertingkah lagi.

Si brengsek Dimas memang tak pernah berfikir akan konsekuensi yang akan ia dapat. Seenaknya saja mempermainkan dua dalam satu waktu. Menang tidak, serakah iya.

Dimas sekarang termenung di dalam kelas, guru pelajarn Bahasa tidak masuk, ada keperluan katanya. Teo memandanginya jengah dari sisi sebelah kanan.

Didepannya ada Ara yang sibuk berkutat dengan entah buku apa. Yang jelas seperti buku catatan yang selalu ia bawa kemanapun.

"Jadi kenapa kemarin kau berkelahi?" Tanya Dimas, nadanya terdengar begitu menyebalkan.

"Kau pasti sudah tahu jawabannya." Jawab Ara tanpa sedikitu pun memalingkan wajah dari tulisannya.

"Kami kan ingin dengar langsung dari mulut korban." Balas Dimas.

"Kami?" Tanya Teo dengan nada kesal.

"Tak sudi." Ucap Ara dengan ketus.

"Kenapa kau ketus sekali, eh? Padahal ada Teo di sebelahku." Ujar Dimas dengan nada yang mengejek.

"Ck, apa hubungannya?!" Desis Ara tak suka.

"Ya– tidak tahu." Jawab Dimas sebelum terkekeh garing.

Teo mendengus kasar dan lebih memilih beranjak dari bangkunya kemudian menuju bangku Kea– sepupunya.

"Kau mau bantu aku?" Tanya Dimas dengan suara berbisik.

"Tidak." Jawab Ara cepat, tepat, dan dingin.

Dimas memutar bola mata, "ayolah. Kali iniiiii saja."

"Baiklah. Asalkan berhenti mencontek pelajaran Kimia padaku."

"TIDAK MAU! BAGAIMANA BISA BEGITU?!"

----

Senandika Dimas berkelakar jika ia lebih baik menyerah untuk mendapatkan atensi Vio. Gadis itu seakan takut dan muak jika Dimas selalu mendekatinya.

Tapi Dimas tetap teguh dengan keyakinanya bahwa suatu saat Vio akan  jatuh ke pelukannya. Ini hanya masalah waktu saja.

Walaupun kini, binar mata Dimas sedikit lindap, ia tak akan menyerah. Usaha tak akan menghianati hasil kan?

"Vio, mau pulang bersama?" Tanya Dimas dengan suara yang kental seklai akan pengharapan.

Vio menghela napas lalu mengigit bibir, ia ingin tapi takut. Ia masih cukup trauma akan apa yang terjadi tempo hari.

"Aku takut Dimas, kau tahu sendiri apa alasannya." Jawab Vio.

Ia tak munafik, bahwa hatinya telah tertambat pada Dimas. Tapi keadaan memaksanya untuk menahan rasa itu.

"Ayolah Vio, aku dan Diva sudah selesai." Bujuk Dimas lagi.

Teo yang sejak tadi berada di belakang dua insan itu diam-diam memutar bola mata. Kenapa Dimas sampai harus memohon dan mengemis seperti itu sih?

"Baiklah." Jawaban Vio sontak membuat Dimas hampir saja bersorak girang bak bocah mendapatkan kupon jajanan.

"Ekhemm.. oke."

----

"Vio, sudah makan?"

"Vio ingin kujemput?"

"Vio ingin pulang bersama?"

"Vio, apakah kau sudah minum?"

Dan banyak lagi pertanyaan tak penting lainnya yanh Dimas layangkan pada Vio.

Terlalu banyak pengorbanan yang Dimas lakukn akhir-akhir ini. Ara dan Teo yang menjadi saksi bagaiaman filantropinya Dimas pada Vio. Walaupun Ara dan Teo adalah orang yang sama-sama apatis, tapi mereka tetap memperhatikan Dimas dalam diam.

----

"Karna kita hidup di dunia dimana 'aku mencintaimu' tidak berarti 'aku akan menetap' "

~
~
~
~



Helooooo!

DIMAS -selesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang