24| Ucapan Selesai

65 8 16
                                    

—Tumpah ruah tak bersisa, jauh-jauh hari telah sepakat, bahwa cinta hanya permainan dunia. Tak lebih.—


Ini adalah hari terakhir hukuman sialan itu berlangsung, Dimas sibuk antar sana-sini minuman di Kedai Kopi Satu Rasa. Sudah rindu sekolah teramat sangat, walaupun sebenarnya lebih rindu Vio. Sama sekali belum ada aksara yang jadi jembatan di antara mereka, semuanya masih sama runyam seperti dua minggu lalu.

"Dim, dipanggil Bapak Kepala," itu Anto, berseru hampir nyaring pada Dimas yang sedang duduk beristirahat sejenak.

Batinnya ribut bertanya-tanya ada apa, apakah ia berbuat kesalahan? Jika iya, apa itu?

Debar jantungnya kian gila saat Dimas membuka pintu kayu yang merupakan ruangan milik Bapak Kepala alias manager kedai itu, ia takut jika ia disuruh berhenti dari pekerjaan ini, pasalnya, pekerjaan ini merupakaan jantung lainnya untuk ia dapat tetap bertahan hidup.

"Permisi, Pak," sapa Dimas takut-takut.

"Masuk, Nak!" Pria paruh baya itu kemudian menyuruh Dimas duduk di kursi besi dihadapan meja kayu yang warnanya hampir pudar.

Dehaman pria itu buat Dimas mendongak, agaknya jantungnya bekerja terlalu cepat hingga hampir lupa bagaimana untuk bernapas tenang.

"Nah, sebenarnya sejak seminggu lalu saya ingin katakan ini," jeda sejenak itulah yang buat suasana makin tegang. "Aku ingin mengangkatmu sebagai karyawan, bukan pekerja paruh waktu lagi." Lanjut pria itu yang mana membuat Dimas tesenyum senang.

"Tapi maaf pak, saya besok sudah harus sekolah lagi, maka di hari senin sampai jumat saya hanya bisa bekerja shift malam, kecuali pada sabtu dan minggu barulah saya bisa bekerja penuh." Jelas Dimas suram, ia juga perlu sekolah.

"ah benar juga, tak apa. Kau telah bekerja begitu keras selama setahun ini." Bapak Kepala tersenyum hangat, tatapannya memaklumi.

Dimas benar-benar lega setengah mati.



----



Tak pernah ada pagi sesegar ini selama dua minggu belakangan. Akhirnya, Dimas bisa tapaki lagi aspal kering sekolah, Dimas dapat melewati gerbang biru itu lagi, Dimas bisa menatap netra setiap kawannya lagi, dan yang paling penting, Dimas dapat bertemu lagi bersama Vio. Mungkin?

"AKHIRNYA!" Dimas berjengit kaget saat Teo datang dan langsung merangkul bahunya dengan tak santai.

"Kau mengagetkanku!" Cecar Dimas sambil menggeliat mencoba melepaskan diri dari rangkulan manusia setengah setan seperti Teo.

"Kau tahu?" Teo bertanya sambil mengangat alis jumawa. "Aku dan Ara berkencan." Lanjut pemuda urakan itu.

"Tak sudi." Itu Ara, datang melintas  tepat waktu saat Teo baru saja meluncurkan  kalimat itu.

Dimas kontan terbahak menertawakan kepercaya dirian Teo yang berlebih, apalagi tokoh yang dibicarakan langsung hadir dan menepis keinginan Teo. Dimas serius tertawa terbahak hingga sakit perut dan jatuh setitik air mata.

DIMAS -selesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang