—Ada kalanya hati ingin binasa, lelah dengan segala apa bentuk lara. Karna ternyata lelah juga berlari terus sampai terkilir asa.—Dimas terseok-seok memikul luka di punggungnya, kepayahan dekap ingatan tentang senyum Vio yang tiada dua. Kenapa bisa menjadi semenyakitkan ini, disini bukan salahnya kan?
Helaan napas berat tak kian buat semuanya membaik, selepas kejadian di UKS tadi pagi, ia dan Vio belum bertemu lagi karna kabarnya Vio diantar pulang oleh Can.
Apalagi coba yang dapat buat Dimas jauh lebih hancur daripada terkalahkan oleh temannya sendiri. Can itu brengsek atau tidak tahu diri? Dimas pernah berjuang mati-matian untuk raih hati Vio dan kini Can dengan seenak hatinya ingin mencoba rebut itu.
Apa Can sudah cukup sakit jiwa? Dimas ingin marah, ingin memaki, ingin memukul. Namun akhirnya sadar juga jika itu mungkin tak akan buat Vio dengan mudah kembali ke dekapannya.
"Makan dulu, patah hati boleh, sakit jangan." Tegur Teo sambil sodorkan semangkuk mie instan pada Dimas.
"Tenang aku yang bayar," lanjut Teo.
Dimas tersenyum kecil, dari seribu kesialan dalam hidupnya, nyatanya memiliki sahabat adalah satu-satunya keberuntungan yang Dimas agungkan.
"Terimakasih."
"Tidak masalah."
Dimas menyeruput kuah mie instan itu, hari sudah mulai petang. Tadi, seusai pembelajaran di sekolah, Dimas pilih pergi ke warung tongkrongan belakang sekolah untuk melamun dan merokok bersama Teo dan yang lain.
Gega dan Algre ada di sana, tahu juga perihal apa yang terjadi di antara Vio, Dimas dan Can. Mereka tak habis pikir dengan jalan pikiran Vio yang begitu dangkal. Apalagi tadi Gega hendak menghampiri Can dan membicarakan hal ini, namun Dimas menahan temannya itu dengan ramah.
"Oh iya, aku ingin putus dengan Andrena. Gadis itu membosankan," ujar Teo tiba-tiba.
Dimas mendelik tajam, "kau pikir kau siapa dengan kurang ajar mematahkan hati anak orang lain?"
Teo terkekeh sebelum menjawab, "aku tidak berniat mematahkan, aku kan hanya bosan dan ingin selesai. Sudah itu saja."
"Terserah."
Dimas pilih habiskan mie instan yang ada di hadapannya. Gega dan Algre pamit pulang duluan dan Dimas hanya mengangguk acuh lalu kembali terlarut dalam lamunan hampanya.
----
Pikirannya bergelut ria dengan kepulan asap rokok yang memuakan, matanya menerawang dengan prihatin, tatap satu-satu bentuk harap yang mungkin terbang seumpama debu.
Akankah ini semua membaik? Apa malah berujung sebuah perpisahan? Sial! Dimas benci diringgalkan.
"Kak Dimas merokok terus, hampir satu bungkus!" Tegur Qila dengan wajah marahnya, dalam pelukannya terlihat Jey yang menatap malas.
Dimas hanya tersenyum canggung lalu mematikan batang nikotin itu dengan buru-buru, "tidak kok." Sergah Dimas.
"Bohong, kata Bu Guru, bohong itu dosa besar. Nanti Allah marah, Ibu dan Ayah menderita, kita masuk neraka!" Nasihat gadis kecil itu sambil melenggang masuk kembali kedalam rumah.
Dimas tertegun, gadis kecil ini mengerti banyak. Tahu mendetail mengenai sesuatu yang Dimas abaikan.
----
"Vio masih sakit, mungkin besok dia akan sekolah." Jawab Kea saat Dimas bertanya khawatir mengenai eksistensi kekasihnya.
"Aku ingin menjeguknya,"
"Maaf Dimas, bahkan saat kemarin kau titip salam pun dia malah mengabaikannya. Kalian butuh jeda," ujar Kea dengan hati-hati, takut memperkeruh suasana.
Dimas menghela napas lalu berterima kasih pada Kea sebelum melenggang pergi dengan lunglai ke arah lapangan olah raga untuk melihat para senior yang sedang bermain bola.
"Dimas!" Itu suara Andrena, paling hanya ingin tanya dimana raga Teo berada.
"Hai," sapa Dimas seadanya.
"B-boleh tahu siapa itu Ara?" Tanya gadis itu langsung tanpa tedeng aling.
Dimas mengerjap, ada apa ini? Apa patah hati membuat ia ketinggalan berita terkini mengenai sahabatnya sendiri?
"Ara? Teman sekelasku,"
"Maksudku, apa hubungan Ara dengan Teo?" Tanyanya, ada selaput bening hiasi bola mata gadis itu yang cukup untuk memperlihatkan jendela luka yang masih baru.
"Mereka.... Berteman?" Jawab Dimas hampir tak yakin dengan ucapannya sendiri, pasalnya ia tahu, dua insan itu hanya saling bersembungi dari perasaan satu sama lain.
"Apa benar hanya berteman? Kemarin Teo bilang bahwa Ara lebih baik dariku." Ujar gadis itu dengan parau, ada selaput bening hiasi netranya yang mana sudah cukup mampu buka jendela lukanya yang masih baru.
Ah sial, Teo itu bodoh atau idiot sebenanrnya? Kenapa juga harus berkata demikian.
"Tapi tak apa, kita sudah berakhir. Salam pada Teo dan Ara." Lanjut gadis itu sebelum melenggang pergi memunggungi Dimas.
Punggungnya bergetar menahan tangis, angkat tinggi-tinggi lukanya.
Dimas menghela napas lagi. Ia pening dan penat dengan semua ini.
"Dimas!"
Suara panggilan itu hampir buatnya mengumpat, ia terlampau malas dengan suara itu. Ada kesal yang berkecamuk di relungnya.
"Ini surat persetujuan untuk orang tuamu, sebagai izin tanding minggu depan." Can menyodorkan kertas buram yang terlipat rapi
"Terimakasih." Balas Dimas setelah meraih kasar kertas itu, ia hanya ingin secepatnya pergi darisana.
Tapi kalimat Can mencegahnya, "sepertinya Vio tak akan kembali lagi padamu."
"Apa katamu?" Tanya Dimas sambil angkat dagu.
"Dia sepertinya muak dengan sikap brengsekmu Dimas."
"Umpan yang bagus, Can," desis Dimas.
"Aku berkata yang sejujurnya, dia terlihat bosan dan menyedihkan."
BUGH!
Satu tunjuan tak main-main melayang langsung ke rahang kiri Can yang mana buat pemuda itu jatuh tersungkur.
"Jangan pernah kau berani berpikir untuk merebutnya dariku, sialan!" Dimas kembali layangkan tinjuan di wajah Can.
Para senior disana sigap melerai walau nyatanya sangat sulit dilakukan. Dimas dikuasai emosi yang besar hingga dapat buat Can terengah menahan sakit memar di wajahnya.
"Hentikan!" Suara keras itu milik Pak Januar, tubuh gempalnya membelah lautan manusia disana dan menemukan Dimas tengah menatap nyalang tubuh tak berdaya Can.
"Kalian berdua ke ruangan saya setelah membersihkan luka. Cepat!"
----
"Akhirnya aku menyadari,
Setelah berlari begitu jauh dari pijakan yang dulu,
Ternyata tak pernah cukup mampu untuk melupakan semua tentangmu."
~
~
~
~Vote dan commentnya jangan lupa ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMAS -selesai
Ficção AdolescenteAda banyak cara mencintai dan mendapat cinta. Dimas memilih mengemis sesuatu bodoh itu pada seorang gadis yang bahkan mungkin bukan takdirnya. Pengorbanan selalu ia lakukan demi apa-apa yang akan menyangkut kisah romasanya. Walau acap kali luka dan...