01| Pemilik Paras Anindita

463 90 148
                                    

—Sebab, ada beberapa hal yang lebih dari cukup untuk sekedar dinikmati tanpa pernah berani mengambil langkah untuk memiliki—






Sekali pun dalam hidupnya. Tak pernah Dimas merasakan seluruh atensi dirinya memusat pada salah satu makhluk bernama wanita seperti sekarang. Bahkan tak pernah oleh kekasihnya sendiri pun.

Bak terjembab jatuh dan ditolong oleh Bidadari Surga, Dimas berlebihan, tapi rasanya memang lah seperti itu.

Dimas tak pernah merasakan debar anomali di dadanya yang kian mendobrak rusuk. Pertemuan, ah tidak, mereka belum bertemu. Dimas hanya melihatnya dari jauh. Dan hatinya sudah segila ini?

Brengsek.

Satu kata yang tepat untun lelaki seperti Dimas. Bagaimana bisa ia malah terkagum-kagum pada seorang Perempuan cantik di ujung koridor sana bahkan saat kekasihnya berada di sekolah yang sama?

Tapi bagaimana? Seluruh pusat semestanya seakan berpindah poros haluan. Bahkan sebelum Dimas tahu siapa nama perempuan itu.

Paras anindita tiada dua bak dewi dari mitologi Yunani. Dimas tak memafhum apa yang membuanya begitu gila, apa yang membuat jantungnya berdentum keras di dalam dada.

Darahnya kian berdesir cepat kala sosok itu tersenyum pada teman di sampingnya. Seakan benar-benar membuat Dimas amnesia bahwa ia sudah memiliki kekasih.

"Bro, ayo masuk." Ucap Teo sembari menepuk pundak sang kawan.

Tahun ajaran baru, sekolah baru, teman baru.

Adalah waktu dimana bangunan tempat menimba ilmu itu begitu bising dan asing.

Banyak diantarnya mulai mencari teman baru. Mulai membentuk kelompok yang berisikan orang-orang sederajat.

Yang fisiknya bagus, bersatu dengan yang fisiknya bagus.

Yang pengetahuannya tinggi, bergabung dengan yang pengetahuannya tinggi.

Yang materinya cukup, bersama dengan yang materinya cukup.

Yang serba rata-rata selalu menajdi pihak yang terabaikan.

Bukankah sudah dikenal wajar tentang hal-hal yang menyangkut derajat sosial seperti itu? Bukankah sudah dianggap normal tentang hal-hal pembagian kelompok seperti itu?

Penghuni dunia kan memang kebanyakan orang sinting.


----

Konspirasi sialan milik semesta seringnya mengejutkan, kali ini Dimas contohnya.

Ia bahagia bukan kepalang saat pembagian kelas diumumkan dan ternyata Dimas akan berada satu kelas dengan perempuan pujaan hatinya.

Ah, sepertinya Brengsek kurang kasar untuk mendeskripsikan betapa bejatnya Dimas.

Dalam hati ia bersorak girang, pasti kali ini takdir akan mendukungnya.

Mendukung apa, heh?

Perselingkuhan mu?

"Permisi. Aku mau duduk disini." Ucap seorang gadis yang mana mampu membuat Dimas keluar dari lamunannya.

Yang Dimas lihat, gadis ini tatapannya tajam namun terselamatkan oleh lesung pipi dan gingsul yang manis.

"Woi! Tidak dengar?!" Ucap Gadis itu lagi.

"Eh, iya-iya. Sabar," Dengus Dimas seraya beranjak dari bangku itu.

Sekilas, ia melirik nama yang terjahit pada seragam gadis itu.

ARA

Ejanya dalam hati. Hm, pasti tipekal gadis bar-bar yang egois dan tak mau kalah. Dimas dengan sok tahunya dapat menebak dalam hati.

Tak lagi memperdulikan gadis tadi, Dimas beranjak pergi dan memilih duduk di posisi yang lebih memudahkannya untuk melihat sang pujaan.

Persetan dengan kekasihnya, hati tidak bisa dibohongi.

Sebagaimana mestinya, saat perkenalan pun tiba. Masing-masing kepala di sana harus memperkenalkan nama mereka satu persatu.

"Halo teman-teman, nama saya Viona Larasati. Panggil Vio saja biar akrab."

Nah, suara indah bak alunan melodi Surga itu keluar dari bibir ranum milik siapa tadi? Vio? Ah, indah sekali.

Jantung dimas kembali berdebar anomali. Napasnya terdengar bersemangat dan tak sabaran. Ah, betapa gilanya Dimas saat ini.

----

Setelah bel pulang sekolah berkumandang, seluruh siswa berebut meraih gerbang. Karna sudah tak sanggup lagi berlama di dalam sekolah dan ingin segera pulang dan menindih kasur tercinta.

Tapi tidak dengan Dimas. Pemuda itu lebih memilih berlama-lama di sekolah. Karna Vio juga belum pulang, inginnnya ia sedikit lebih akrab dengan sang pujaan.

"Hai, Vio," sapa Dimas yang mana menarik perhatian tiga orang disana.

"Ah, Dimas ya?" Tanya Vio dengan ragu.

Ah, kenapa manis sekali, huh?!

"Boleh minta nomor teleponmu?" Tanya Dimas.

Vio terlihat menimang, apakah akan memberi atau beranjak pergi. Dan opsi pertama menjadi pilihan.

"Boleh, kemari tanganmu, dan pulpen." Jawab Vio.

Dimas tersenyum kecil. Euforia meledak dalam hatinya, bak bunga virtual yang mekar di sana-sini. Dimas bahagia.

Pemuda itu meraih pulpen dari saku jaket dan memberikan telapak tangannya.

Jantungnya berdenyut hebat kala tangan Vio bersentuhan dengan kulitnya. Lalu menuliskan sederet nomor paling berharga di hidupnya.

Haha, bajingan kecil ini.

Setelah mendapat nomirnya. Dimas bergumam terimakasih yang di balas senyuman oleh Vio dan ditanggapi lamunan oleh kedua teman perempuan itu.

Langkah kaki Dimas terasa ringan, setidaknya menjadi seorang brengsek seperti ini adalah hal yang dapat menyenangkan hidupnya.

Seklai saja, Dimas ingin menjadi egois pada Takdir, ingin seklai saja menentang semesta. Karna ia terkadang lelah dijadikan budak cinta tak berperasaan.

----

"Aku sudah terjembab berkali, dan nyatanya masih bertahan sampai kini."

~
~
~

DIMAS -selesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang