—Patah kaki seribu kali pun kau akan tetap berlari lagi hingga tak lagi dapat ampun—
Hari ini rasanya mentari lebih cepat ditelan malam, langit gelap terlalu buru-buru rebut senja dari mata manusia.
Tapi setidaknya, malam adalah waktu dimana semua terang akan jujur pada dunia, bahwa; mereka juga punya sisi gelap yang lainnya.
"Menurutmu.... apa ada sesuatu yang berbeda? Kita terasa canggung luar biasa." Gumam Vio, suarakan bisik hati yang sudah mendobrak-dobrak sejak tadi.
Dimas mendongak, alih pandang dari semangkuk bakso dan kini tatap mata sendu Vio.
"Hah? Mungkin hanya perasaanmu saja," jawab Dimas, enggan mengakui bahwa ia juga tenggelam dalam sebuah canggung yang entah apa penyebabnya.
"Apa... kau masih mempermasalahkan tentan Can?" Tanya Vio sembari menunduk dalam-dalam.
Dimas menggeleng cepat, "tidak, tidak," jawabnya kemudian.
----
"Maafkan aku yang hampir merebut Vio darimu." Can datang saat Dimas sedang nikmati seduhan kopi yang dibayar Teo, artinya pemuda itu sudah jalin kisah dengan Ara.
"Hm, lagipula sudah berlalu." Balas Dimas, sambil memalingkan wajah dengan muak.
Dimas tak ingin tumpuk dendam, ia tak mau bersikap seperti kisah romansa dalam drama enam belas episode yang begitu berpengaruh kelam. Ia sedang berusaha jadi baik.
"Maafkan aku, seharusnya aku ikut memperbaiki, bukan malah mengambil kesempatan." Can menggaruk tengkuk, rasa bersalah menekannya hingga ia ingin batuk.
Dimas menggedikan bahu malas-malasan, "tak apa. Lagipula aku dan Vio sudah kembali berbaikan."
"Ayo Dim, pergi saja," Teo terlihat mendelik pada Can sebelum berjalan mendahului Dimas yang kini ikut beranjak tinggalkan sesak.
"Bajingan itu, aku kesal setengah mati!" Teo berucap beringas sambil kepalkan tangan.
Dimas terkekeh pelan, "yang penting kau dan Ara sudah bersama kan?" Dimas menaik turunkan alisnya main-main.
Teo terkekeh bodoh sebentar, "iya, ah aku bahagia sekali bisa berkencan dengan gadis galak itu."
"Siapa yang kau mkasud galak?" Ara berdiri sambil menyandar di persimpangan koridor, memainkan kuku dengan bosan.
"A-ah, tidak ada! Ayo masuk kelas, besok aku belikan buku yang baru," Teo meringis bersalah saat ia melihat ttapan Ara yang begitu tajam namun tak pelak luluh juga saat diberi janji akan dibelikan buku baru.
Dimas berjalan lambat-lambat, tunggu Vio yang baru mncul dari belokan. Berniat berjalan masuk bersama, memang terlihat bersama, namun tolonnglah, kecanggungan masih melekat terlalu erat.
Mereka ini lebih menyedihkan dari drama enam belas episode, sebenarnya. Lihatlah terbitan senyum palsu milik keduanya. Memang, mungkin masih ada rasa sayang dan juga kasih. Namu bagaimana jika kasih dan sayang itu sudah tak lagi ada dalam satu kalimat?
Dimas tersenyum, agak sulit hapus canggung, lalu ia pun melangkah berbarengan dengan Vio untuk kemudian duduk bersebelahan di bangku ketiga dai depan.
"Ingin bertaruh sampai kapan mereka bertahan?" Bisik Teo pada Ara yang lebih sibuk pandangi aksara novel.
"Tidak mau, tidak penting."
----
"Seperti kasih yang tak lagi bersama sayang. Ia hilang dan tak lagi mau pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMAS -selesai
Teen FictionAda banyak cara mencintai dan mendapat cinta. Dimas memilih mengemis sesuatu bodoh itu pada seorang gadis yang bahkan mungkin bukan takdirnya. Pengorbanan selalu ia lakukan demi apa-apa yang akan menyangkut kisah romasanya. Walau acap kali luka dan...