40| Tangis Terlaris

34 4 2
                                    

-Dua hal yang akan selalu mengubah manusia; cinta disertai pengkhianatan atau kecewa disertai penyesalan-



Malam sekali, Dimas berjalan pulang. Sehabis menonton balapan liar dengan Teo. Dia sudah hampir kebiasaan untuk selalu pulang tengah malam tanpa harus pusing memikirkan kekhawatiran orang tuanya

Ia baru tahu bahwa efek sebuah patah hati bisa sebesar ini.

Kepikiran Ann juga secara tiba-tiba. Mengenai janji satu minggu yang telah ia abaikan dan malah  memilih untuk kembali terjun pada dekapan Vio yag katanya tak lagi bersama Can. 

Namun gadis itu berbohong, tadi siang Vio dan Can terlihat saling membonceng dengan senyuman lebar untuk satu sama lain. Para gadis itu pembual, hanya bisa mengandalkan tangisan untuk belas kasihan.

Dimas terkekeh seperti orang gila saat menyadari kebenaran ucapan Ara bahwa ia memang menyedihkan. Ia memang bodoh karna kembali percaya pada luka yang sama. 

Brengsek. Hidup brengsek.

Saat dimas mendongak tepat di hadapan pagar kontrakan. Siluet Ayah berdiri di kegelapan. Memandangnya datar namun Dimas tahu, ada ketegasan disana.

Ayah mematai Dimas hingga Pemuda itu berdiri di hadapannya. Setelah itu satu tamparan keras mendarat di pipinya, sebuah tamparan pertama yang Dimas dapat dari Ayahnya. Sebuah sorot mata paling menakutkan yang pernah Ayahnya berikan.

"Kau tidak tahu diri sekali, setiap hari pulang larut malam. Kau pikir kekhawatiran orang tuamu tak ada apa-apanya?!" Ayah membentak, namun tetap mencoba menjaga suaranya agar tak mengusik lelap ibu dan Qila.

Dias mendongak, selama ini Ayahnya tak pernah mempermasalahkan waktu pulang. Namun kenapa sekarang malah diulik kepermukaan? Dimas muak.

"Lalu kemarin-kemarin Ayah kemana? Kenapa baru memarahiku hari ini?" Dimas bersuara, tak lagi ingat sopan santun.

"Pandai sekali kau berkilah, Dimas. Ingat Dim, kita ini bukan jenis orang yang bisa menghamburkan waktu. Ada banyak tanggung jawab yang harus kau angkat!" Mata Ayah terlihat memerah, memikul terlalu banyak beban.

Dimas terkekeh, suaranya meledek. "Tanggung jawab? lalu apakah Ayah pernah mau bertanya apa yang terjadi padaku? Bagaiaman hariku?"

"Kita tak akan pernah punya waktu untuk itu Dimas, kita adalah keluarga yang hanya bisa memikirkan esok Dim, memikirkan bagaimana caranya kita akan selalu makan dan kau juga Qila selalu bisa sekolah. " Sahut Ayahnya, membeberkan kebenaran yang sudah lama ingin ia sampaikan.

"Tapi aku hanyalah seorang remaja. Ayah ini egois, selalu mementingkan keinginan Ayah tanpa pernah bertanya apa mauku!" Dimas menggebu, tak dapat lagi menahan emosi.

Nyaris lupa jika orang yang ia bentak adalah Ayahnya, Pahlawannya.

"Sudah Ayah katakan berapa kali Dimas? Jika Ayah meminta maaf atas hilangnya waktu remajamu. Maaf jika keadaan ini memaksamu dewasa sebelum waktunya."  Ayah mencoba menenangkan diri, mencoba menjadi air di dalam perdebatan ini.

"Omong kosong. Ayah tahu kata maaf adalah omong kosong, kan? Ayah tak pernah tahu jika aku menyesal terlahir di keluarga ini! Aku menyesal memiliki Ayah yang bisanya hanya menuntut ini dan itu tanpa mau berkorban apapun!"

DIMAS -selesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang