05| Percikan Bahagia

183 68 54
                                    

—Apakah ini perasaan menggebu yang orang sebut dengan istilah rindu?—

Manik kelamnya menatap haru dan pilu pada sesosok gadis kecil dihadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Manik kelamnya menatap haru dan pilu pada sesosok gadis kecil dihadapannya. Dimas memang brengsek, tapi ia menyayangi adik perempuannya.

Bocah manis nan lugu berusia lima tahun itu tak tahu apa-apa tentang betapa bejat kelakuan Kakak yang selalu ia banggakan pada teman-teman sepermainannya.

"Kak Dimas, Olin tadi bilang ke Qila kalo katanya Olin punya kucing. Qila boleh punya kucing juga tidak?"

Suara kecil itu memutus lamunan Dimas, ia memusatkan atensinya pada adik kecilnya. "Qila ingin punya kucing?"

Gadis kecil itu mengangguk semangat. Lucu sekali, begitu menggemaskan dan suci.

"Nanti Kakak carikan ya, tapi izin Ibu dulu."

"Yeay! Qila sayang Kak Dimas!" Gadis mungil itu kemudian beranjak memeluk kakaknya.

Dimas tersenyum, lalu membalas pelukan hangat si kecil. Setelah dirasa cukup sore, Dimas mengajak adiknya masuk kedalam rumah kontrakan yang ia tempati sekeluarga.

Tidak besar, namun cukup untuk menampung segala bentuk kebahagiaan yang ada di keluarga mereka.

----

"Kau tahu? Adikku ingin kucing." Ujar Dimas pada Vio.

Mereka berdua duduk berhadapan di waktu istirahat.

Mata Vio membulat, "wah! Aku menyukai kucing!" Pekiknya.

Dimas mengatur napas, mencoba untuk tak jatuh terlalu dalam pada pesona seorang Viona Larasati.

"O-oh, kau juga–"

"Oy Dim! Kucari di kantin tidak ada, ternyata malah dikelas!" Protes Teo pada Dimas. Pemuda itu tak segan memukul main-main pundak Dimas.

"Bangsat kau, sakit tahu." Delik Dimas.

"Yasudah ayo pergi ke kantin, aku lapar."

"Pergi saja sana sendiri. Atau minta temani Ara!" Usir Dimas dengan tak peduli.

"Tak sudi." Balas Ara dari arah belakang.

Vio terkekeh kecil mendengarnya.

"Ayo Ara, antar aku ke kantin. Nanti kubelikan novel berwarna oranye yang kau jadikan status tadi malam."

"Ayo." Pekik Ara cepat.

----

Dersik sore hari menemani Dimas yang sedang hanyut dalam lamunan kosongnya. Duduk di atas sofa butut sambil menyesap batang nikotin. Orang tuanya tak melarang jika ia merokok, laki-laki tak apa katanya.

Hening menyapa sebelum Dimas buru-buru mematikan batang nikotin itu karna melihat Vio yang berjalan ke arah rumahnya.

"Selamat sore Dimas," sapa Vio dengan ceria.

Dimas mendengung, "e-eh sore, Vio."

Vio celingukan, "mana adikmu?"

"Tunggu, kau tahu rumahku dari mana?"

"Teo. Jadi mana adikmu, aku sudah membelikan seekor kucing untuknya." Vio mengangkat jinjingan besar, sepertinya rumah kucing dan tentu di dalamnya ada kucing.

"Kenapa kau repot-repot. Kemari duduk dulu, aku akan panggilkan Qila,"

Vio menurut dan duduk di sofa bekas Dimas barusan. Membiarkan Dimas pergi keluar untuk menghampiri adiknya yang sekarang pasti sedang main boneka di rumah tetangga.

Tidak sampai lima menit, Dimas datang lagi sambil menuntun gadis kecil yang rambutnya dikepang. Vio berjengit kaget, lalu tersenyum gembira melihat gadis kecil itu.

"Halo anak manis, siapa namamu?" Tanya Vio langsung pada saat Qila duduk di sebelahnya.

"Halo Kakak Cantik, aku Qila, Kakak Cantik siapa namanya?" Jawab gadis kecil itu dengan riang.

"Nama Kakak Vio, kenapa kau lucu sekali hm?" Vio kemudian mencubit pipi Qila dengan gemas.

Dimas menahan debaran jantungnya yang menggila. Apakah sebahagia ini melihat adik dan orang yang dicintainya bercengkrama hangat dan akrab?

"Ngomong-ngomong, Kakak bawa kucing untuk Qila!" Ujar Vio sembari menggeser kotak rumah kucing tadi.

Mata Qila melebar dengan binar suci yang indah. "Woah! Qila mau kucing!"

Qila langsung membuka pintu rumah kucing itu dan disambut oleh kepala kucing dengan bulu putih. Qila bertepuk tangan sekali lalu menggendong kucing itu dengan sayang.

"Qila suka?"

"Suka sekali Kak Vio!"

"Bilang apa pada Kak Vio," ucap Dimas.

Qila memperlihatkan deretan giginya, "terimakasih Kakak Vio yang cantik."

"Jadi, kucingnya mau diberi nama siapa?" Tanya Vio sambil ikut mengelus bulu kucing yang sengaja dibelinya untuk adik Dimas.

"Hmm...." Qila terlihat lucu sambil mengetukan jemari gemuknya pada dagu.

"Bagamana dengan Toni?" Saran Dimas.

"Toni? Yang benar saja Dim," Vio kemudian mendelik.

"Jey! Qila ingin nama kucingnya Jey!" Pekik Qila antusias.

Vio terkekeh pelan disusul tawa kecil Dimas. "Okay, katakan hai pada Jey!"

"HAI JEY!" Jerit Qila dengan semangat yang membara.

Dimas tersenyum lagi. Menikmati momen bahagia dengan Vio sebagai mungkin asing yang tak akan usang. Mungkin sebagai dua insan yang akan saling menyembuhkan.

Walaupun Dimas tahu, tak ada yang amerta di Bumi ini. Yang datang akan pergi, yang pergi akan terganti.

Tapi, setidaknya Dimas menikmati waktu swastamita dimana ia dapat leluasa memandangi lengkung senyum indah milik Vio. Setidaknya sekali dalam hidup, Dimas bisa merasakan apa itu debar cinta yang orang lain selalu agung-agungkan.

-----

"Kita yang berbicara tentang selamanya, tapi kita juga yang saling menghancurkan pada akhirnya."

~
~
~
~

-gimana part ini menurut kalian?

DIMAS -selesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang