14| Ternyata Mudah

61 21 2
                                    

—Sederhana saja, setiap jatuh itu sakit. Begitu pula dengan jatuh cinta.—

Pagi ini terasa begitu menyebalkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi ini terasa begitu menyebalkan. Otak Dimas sudah mengepul sejak Guru Fisika beri tahu keluarkan kertas selembar. Pikirannya sudah habis rontok dituang kedalam selembar kertas sialan yang memulai harinya. Niatnya ingin mencontek pada Ara, tapi lebih sialannya lagi gadis itu sengaja Guru Fisika pindahkan duduknya menjadi paling pojok belakang. Dan Dimas duduk di depan.

Kepalanya pusing saat pertama kali melihat deretan soal yang bahkan enggan sekali ia lirik. Maka, ia mengisi sebisanya, mengarang bebas tentang deretan angka yang ia tulis asal. Sesekali ia melirik Vio yang tampak serius dengan soal di mejanya, kentara sekali gadis itu berpikir keras.

"Baik kumpulkan!" Seru Guru perempuan dengan kerudung menjuntai ke lutut itu.

Desah nyaring para penghuni kelas jadi latar belakang suara pagi itu. Sebagian diantara mereka sudah pasrah tentang angka yang akan ditulis oleh pulpen merah nantinya. Sedangkan sebagian lagi, mencoba mengisi soal sebaik mungkin. Dan yang membuat seisi kelas melongo adalah Ara, gadis itu dengan santai melenggang ke meja guru dan mengumpulkan kertas ujiannya.

"Baik Ara, kau boleh istirahat duluan. Yang lain cepat kerjakan! Ibu beri waktu tambahan lima menit!"

Dan Dimas hampir saja benar-benar sekarat jika saja Ara tak pura-pura membungkuk da melmpar gulungan kertas kecil berisi kunci jawaban. Di bagian depan tertera.

LAIN KALI AKU TAK SUDI MEMBANTU LAGI, BERI SIAPA PUN YANG BUTUH CONTEKAN ITU.

Dimas tersenyum miring, kemudian menyalin jawaban dan mulai membagikan pada teman-temannya. Sebisa mungkin tak ketahuan oleh mata si Guru.

----

"Ulangan harian hampir membuatku mati!" Keluh Dimas pada Vio, kemudian berjalan bersama menuju kantin.

"Untung saja Ara berbaik hati. Kalau tidak, aku tidak tahu berapa nilaiku nanti." Timpal Vio, sembari memajukan bibirnya sebentar.

Dimas terkekeh, mencubit pipi Vio sebentar lalu melanjutkan jalan duluan. Meninggalkan Vio yang merona parah di pijakannya. Vio kemudian menangkup pipinya, gurat merah terlihat jelas disana. Terlihat manis dan cantik.

Dimas sialan! Selalu saja bisa membuat Vio merona.

----

"Nah, aku akan menjemputmu jam tiga ya?" Tanya Dimas, memecah hening diantaranya dan Vio.

"Baiklah. Memang kita mau kemana?" Vio bertanaya balik, menatap penasaran pada Dimas.

"Sudahlah, kau juga nanti tahu." Diama malah menjawab dengan menyebalkan.

Mereka berdua keluar dari gerbang sekolah saat keadaan sudah lumayan lenggang.

"Dimas!" Panggilan itu kemudian membuat mereka berdua membeku.

DIMAS -selesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang