17| Tak Ada Jawaban

47 7 6
                                    

—Aku pernah seperti Biru, yang menyangka Langit hanyalah miliknya. Padahal, Langit adalah milik Hitam dan Jingga juga.—

Vio lalu begitu risau pikirkan gemuruh hatinya yang sekusut benang usang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Vio lalu begitu risau pikirkan gemuruh hatinya yang sekusut benang usang. Hatinya tak karuan takut kalau ingat lagi Dimas. Takut-takut jika Dimas berkeras pergi lalu ramalan itu akan terjadi. Segala skenario paling buruk sudah terbayang jelas di benaknya. Barangkali ia berpikir kejauhan, walau nyatanya memang seperti itu adanya.

Jemarinya bertaut satu sama lain untuk hentikan gemetar, jika saja mungkin Dimas tiba-tiba menghubungi nya dan mengaku bahwa Dimas tidak pergi kemana-mana.

Matanya begerak acak, bahkan semilir angin sore tak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya kacau dan ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan selain memikirkan hal-hal buruk itu.

Ya, Vio tahu ia berlebihan. Terlalu jauh pikirnya hingga bisa saja buat sesak diri sendiri. Namun siapa peduli? Ia begitu khawatir pada keadaan Dimas. Acap kali ingin segera berangkat menuju rumah kekasihnya saat ini juga.

Kakinya mengetuk pelan ubin lantai, kerisauan melandanya hingga buat atma seakan ditinggal nyawa. Vio belum pernah seperti ini sebelumnya.

"Dimas, ayo cepat hubungi aku." Monolog Vio sembari menatap berang benda pipih yang ia harapkan segera menyala menampilkan nama Dimas.

----

Di sudut bumi yang lain, Dimas pula ikut terdiam layaknya menyesali sesuatu. Ia menatap kosong rokok yang bertengger manis di sudut ashbak. Kepulan asap nikotin yang menyerang wajahnya bahkan tak buat Dimas cepat berkedip.

Menghirup napas kuat lalu menghembuskannya perlahan ternyata sama sekali tak membantu banyak. Pikirannya berlari-lari jauh mencari-cari alasan kenapa Vio bisa menjadi demikian.

Gadis itu bahkan tak layangkan alasan kenapa Dimas tidak boleh pergi latihan hari ini. Dimas inginnya mengerti, memahami Vio dan menurut saja, namun ini bersangkutan dengan latihan sepak bolanya.

Dimas bahkan sudah tidak peduli jikalau minggu depan Gio memarahinya habis-habisan atau mungkin memakinya dengan ribuan kalimat hingga berbusa.

Ia bimbang, ingin menghubungi Vio tapi tidak tahu tepatnya apa yang akan ia katakan saat sambungan telepon terhubung nanti.

Menghela napas berkian kali tak buatnya mendapat jawaban atas sebuah pertanyaan besar yang menancap kuat tinggali otaknya.

Haha. Bodoh sekali.

Pesan singkat dari Teo itu malah memperburuk suasana hatinya, niat diri bercerita pada sahabat adalah untuk mendapat saran yang sedikit lebih manusiawi bukan malah makian.

"Sialan." Umpat Dimas sebelum mendial nomor Vio.

Jantungnya berdetak kuat menggebrak rusuk saat sambungan itu kemudian terhubung ciptakan hening mendalam.

"H-halo, Vio?"

Vio tak menjawab di seberang sana, bukan tak ingin hanya saja ia menunggu kalimat yang akan Dimas ajukan selanjutnya.

"Aku tidak pergi latihan hari ini, bisa kau jelaskan kenapa kau melarangku dan mengancamku demikian?" Tanya Dimas hati-hati, enggan pancing perselisihan lebih jauh di antara mereka.

Panggilan terputus dengan Dimas yang dibiarkan bertanya-tanya kenapa pertanyaannya selalu tidak dijawab?

----

Sebenarnya Vio tahu alasan ini begitu sulit di akal. Mengenai ramalan zodiak? Ayolah, obrolan kuno itu tak sepantasnya buat jurang di antara mereka.

Pagi harinya mereka tetap begitu, apalagi Vio yang memilih banyak menghindari Dimas. Dimas yang diperlakukan sedemikian rupa malah semakin bingung dan malah hampir lelah.

"Sudahlah, tarik saja dia. Kalian perlu bicara, bukan malah main kucing-kucingan seperti ini," saran Teo dengan nada menyebalkan.

"Kau pikir itu mudah?" Tanya Dimas sarkas.

Teo mendelikan mata, "tentu saja mudah jika hanya dipikirkan."

"Brengsek." Balas Dimas kesal.

"Ara, ayo bantu aku untuk bertanya pada Vio," rengek Dimas seakan Ara adalah ibunya yang ia mintai sebungkus mobil-mobilan plastik yang terpajang rapi di toko mainan.

"Kenapa juga aku harus mau repot-repot membantumu?" Tanya Ara, tanpa alihkan netranya dari dertan kalimat buku sajak yang ia beli di pasar loak minggu kemarin.

"Kau kan temanku."

"Cih, kekanakan." Balas Ara.

----

Hingga diakhir jam pelajaran pun Dimas tak kunjung mendapat barang sedetik atensi Vio. Gadis itu lebih senang memalingkan wajah lalu berpura bahwa ia dan Dimas tidak mengenal satu sama lain.

Hingga Dimas jemu, tak jua dapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepalanya pening.

"Vio, kita perlu bicara," beruntung kali ini gadis itu tak menepis paksa cengkraman Dimas.

Dimas menatap sekitar, masih terlalu ramai. Ia butuh tempat yang tenang untuk berbicara pada Vio. Ia kemudian lebih pilih menyeret Vio masuk kembali ke dalam kelas, setidaknya hanya ada para anggota piket yang jumlahnya paling tidak setengah lusin.

"Vio, aku ingin bertanya dengan baik, kenapa kau melarangku pergi latihan kemarin?"

"Kau tidak mengerti, Dimas! Aku ini peduli padamu!" Ujar Vio sambil melepas tangan Dimas yang senantiasa memegangi tangannya.

"Lalu buat aku mengerti Vio, sebenarnya kau kenapa?" Tanya Dimas masih dengan nada yang terkontrol.

Bukan apa-apa, hampir setahun menjalin kasih mereka tidak pernah bertengkar sebegini hebatnya hanya karena hal yang tidak masuk akal.

"Intinya aku peduli padamu,"

Dimas menghela napas, walau bagiamanapun ia bertanya, Vio tak akan mau menjawab jika memang benar gadis itu tidak mau. Vio itu kepala batu, keputusannya selalu enggan diganggu gugat oleh siapapun. Namun bukankah itu terlalu.... egois?

"Yasudah, jangan marah lagi. Aku bersumpah tidak pergi latihan kemarin." Ungkap Dimas dengan tulus dan jujur karna memang benar ia kemarin berdiam diri seharian di rumah.

"Bagus. Ayo pulang bersama."

Hingga keesokan harinya pun Dimas tetap tak mendapat jawaban apapun atas hal apa yang mendasari Vio bertingkah demikian. Walaupun sebenarnya Dimas sangat ingin tahu apa yang sebenanrnya Vio pikirkan hari itu.

Dimas sudah lelah menjenggut asa pikirkan kejadian usang itu, barangkali mungkin Vio itu peduli padanya dan takut sesuatu terjadi.

Siapa tahu, kan?

----

"Aku tidak mau menetap di ingatanmu, karna seringnya ingatan akan usang. Aku inginnya berada di tulisanmu, karna tulisan selamanya akan terkenang."
~
~
~
~

Halooo! Mau pendapatnya dong.

DIMAS -selesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang