25. Calon Istri?

2.8K 215 60
                                    

"Apa lo! Jangan sentuh gue!" ucapku kasar saat ada yang ingin meraih tanganku.


Aku terkadang merasa kasihan dengan orang tua mereka. Orang tua sudah susah payah mencari uang untuk menyekolahkan anaknya agar menjadi orang yang sukses. Guru sudah mendidik dengan begitu telaten. Tapi kenapa dari semua pendidikan yang mereka dapatkan mereka malah tidak bisa menghormati orang lain? Ilmu tinggimu tidak akan bermanfaat. Jika akhlakmu tidak baik seperti ini. Sebaik apapun seseorang mendidik, tetapi kalau memang dasarnya mereka tidak bisa menerima didikan itu ya tetap saja. Hasilnya begini. Karena karakter seseorang tergantung dengan bagaimana ia menyikapinya. Dan, lingkungan serta teman-teman itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter mereka. Sungguh, aku merasa sedih. Bagaimana perasaan orang tua dan guru mereka jika mengetahui sikap mereka di luar seperti ini.

"Aduh jangan galak-galak atuh, Neng."

"Lo semua tahu cara bersikap sopan santun sama orang lain kan?! Kalau kalian bersikap baik ya gue juga bakalan baik. Minggir nggak!" Aku sudah mulai emosi ditambah aku merasa sangat takut saat ini sehingga kata-kataku sudah tidak bisa dikendalikan lagi.

Di dalam hati aku terus berdo'a, meminta perlindungan dan pertolongan kepada Allah SWT. Karena sebaik-baiknya perlindungan adalah dari Allah SWT.

"Makin galak makin tambah cantik. Jangan galak-galak atuh. Jadi pacar aa aja mau nggak?" tanya yang lain bergantian.

Belum lagi aku menjawab seseorang datang dari arah belakangku, "Jangan mimpi lo semua! Pergi!" ucapnya lalu berjalan ke samping kananku.

Aku menengok ke samping kanan ternyata seseorang itu adalah Vino. Aku bisa bernapas lega sekarang. Aku bergeser dan berdiri di belakang Vino.

"Saha? Ada cowoknya euy. Marah-marah lagi," ucap seseorang lainnya dan mereka semua tertawa.

"Gua bukan cowoknya tapi calon suaminya. Mau apa lo?!" kata Vino mulai tersulut emosi.

Aku menarik-narik bagian belakang jaket bomber berwarna hitam yang dikenakan Vino,"Vin udah, pergi aja yuk," Aku mengajak Vino pergi dari tempat ini. Karena aku merasa suasananya semakin tidak enak. Aku takut terjadi keributan di sini. Dan jumlah siswa SMA ini tidak sebanding untuk menjadi lawan Vino karena Vino sendirian. Lagi pula taman ini dekat dengan kampus. Selain menjaga nama baik sendiri, dan keluarga. Kami juga memegang nama baik kampus.

"Lo tenang aja. Orang kayak mereka itu harus dikasih pelajaran biar jera. Lagian bukan kita yang mulai. Tapi mereka yang nyari masalah," ucap Vino meyakinkanku.

Tanganku sudah gemetaran, kaki sudah semakin lemas. Karena aku paling tidak bisa menyaksikan keributan.

***

Sebagian part ini sudah dihapus untuk kepentingan penerbitan. ❤🙏

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tak Terucap [TAMAT] | TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang