****
Aya duduk menekuk lutut di teras depan rumah asuhnya. Dua jam yang lalu Igor telah mengantarnya pulang. Tentu saja setelah berpamitan dengan Bunda.
Bunda.
Aya merasakan ada sejuta pelangi yang menghiasi taman panti asuhan ini saat menyebutkan kata itu. Igor memang belum banyak menceritakan apa yang ingin Aya tahu. Bahkan ia tak menjawab ketika Aya bertanya seperti apa para kakaknya. Igor hanya berkata bahwa dua hari lagi ia akan menjemputnya untuk bertemu dengan keluarga besar mereka.
Senyum di bibir Aya semakin lebar ketika melihat mobil yang sangat dihafalnya memasuki pelataran parkir. Cave benar-benar pacar yang posesif. Ia terus bertanya urusan apa yang dilakukan Aya seharian ini sampai-sampai tidak membalas pesan atau mengangkat telepon. Hingga Aya yakin kesabaran Cave habis dan menemuinya langsung meski ini sudah jam delapan malam.
Aya beranjak menyambut Cave saat pria itu keluar dari mobilnya masih dengan kemeja. Seragam khas yang selalu digunakan Cave saat bekerja. Lelaki itu tersenyum lega melihat Aya yang masih utuh dan tampak baik-baik saja. Ia meraih Aya dalam pelukannya, mencium kening gadis itu dan berlama-lama membenamkan hidungnya ke rambut Aya yang harum.
"Apa saja yang kamu lakukan hari ini?"
"Aku yakin ini hari minggu, kenapa kamu kerja Cave?"
Mendengar Aya malah melontarkan pertanyaan ketimbang jawaban membuat Cave terkekeh. Ia merangkul gadisnya dan membawa Aya masuk dalam mobil.
"Kita mau ke mana?" tanya Aya bingung.
Cave hanya tersenyum saat ia masuk di sisi pengemudi dan mulai menjalankan mobilnya. "Aku merindukanmu sayang, kita jalan-jalan sebentar saja."
Aya mengangguk dan duduk bersandar ke kursi sambil tersenyum. "Ada kabar baik pastinya?" tanya Cave penasaran.
"Kukira, ketika aku sudah lulus SMA aku harus keluar dari rumah asuh dan hidup dan bekerja sendiri," Aya bergumam.
"Kamu akan tinggal denganku, Aya. Sudah kukatakan itu. Kamu nggak akan terlantar. Aku benci membahas hal ini!" Cave melirik Aya dengan tidak suka. Ia melajukan mobilnya perlahan, menikmati lantunan lagu dari radio yang membuat kebersamaan mereka semakin indah.
Aya tersenyum mendengar nada sebal yang dilontarkan oleh Cave. "Aku bertemu dengan ibuku hari ini."
Aya terlalu sibuk tersenyum dan memperhatikan jalan sehingga tidak bisa melihat wajah Cave yang mendadak tegang. Jemari pria itu mengerat pada roda kemudi. Perlahan Cave menoleh kemudian bertanya, "Benarkah? Apa yang terjadi?"
Fokus Cave sepenuhnya bertumpu pada wajah Aya yang tampak bahagia dan merona senang. Di tepikannya mobil agar ia bisa mendengar apa yang Aya katakan dengan lebih jelas.
"Maaf, aku tidak pernah menceritakannya padamu. Sebenarnya selama beberapa bulan ini ada anak laki-laki yang suka datang ke panti." Aya diam sebentar mengamati perubahan emosi di wajah Cave. Tetapi karena tidak mendapatkan apa-apa ia melanjutkan kalimatnya.
"Awalnya aku kasihan karena dia selalu babak belur, lama-lama kami akrab dan dia suka bawa makanan ke rumah asuh. Jelas anak orang kaya, namanya Igor ngomong-ngomong."
Cave diam. Ia pura-pura tidak tahu dan menunjukkan raut wajah yang penasaran meskipun beberapa kali ia sempat melihat Aya bersama anak bernama Igor tersebut.
"Hari ini tiba-tiba dia ngajak aku pergi," Aya menimbang-nimbang kembali apakah harus melanjutkannya. Karena wajah Cave terlihat aneh. Aya takut Cave cemburu dan buru-buru menyelesaikan kalimatnya.
"Dia ternyata saudaraku, dan lebih mengejutkannya lagi, dia saudara kembarku! Cave, jangan berwajah seperti itu. Igor dan aku tidak ada hubungan yang aneh, kami saudara!"
Cave mengedipkan matanya, mencoba mencari kalimat yang hilang tetapi ia tidak menemukannya. Dengan gerakan yang tampak sangat lelah, pria itu mengusap wajahnya. Di rebahkan punggungnya ke kursi, matanya menatap ke depan dengan tidak pasti.
"Di sana ada ibumu?" Cave bertanya yang langsung dijawab dengan anggukan antusias oleh Aya.
"Kalau dia bohong gimana, hmm?" Cave berkata dengan nada suara tidak suka. "Kalau dia hanya usil dan mau berbuat jahat bagaimana?"
"Igor nggak begitu, Cave. Dan perempuan yang ketemu sama aku tuh bener-bener mirip aku!"
Aya masih tidak menyadari perubahan-perubahan dari gerak tubuh Cave. Ia terus menceritakan apa yang baru saja Igor katakan padanya.
"Namaku adalah bagian dari nama keluarga ibuku. Silvia Arcadhia. Ayahku bernama Akira Leander. Dan aku baru mengetahui bahwa nama lengkapku Arcadhia Rena Leander. Igor bilang..."
Cave tampak semakin tertegun dan belum bisa mengeluarkan komentar apa pun. Matanya tampak kosong, jelas-jelas ia tak memperhatikan apa yang Aya katakan.
Benaknya mengudara pada belasan tahun lalu. Tentu saja nama itu tidak pernah ia lupakan. Ia telah menjadi pria kuat yang memiliki kuasa sekarang, bukan lagi bocah tujuh tahun yang tidak mengerti apa-apa.
Cave memperhatikan Aya yang terus bicara. Ia mengulurkan tangan dan membelai kepala gadis itu. "Selamat sayang," bisiknya.
Aya memperhatikan perbedaan nada bicara Cave. Serta raut wajahnya yang tampak tegang. Cave kembali pada sosoknya yang dingin. Apakah Aya telah mengatakan sesuatu yang salah?
"Kurasa aku juga ingin menunjukkanmu sesuatu." Cave kembali menjalankan mobilnya. Kali ini tidak hanya berputar-putar di daerah rumah asuh Aya. Mobil itu berjalan menjauh.
Ponsel Aya bergetar, menampakkan nama Igor di layarnya. Buru-buru Aya menjawab.
"Ya?"
"Aku cuma mau bilang, jangan katakan apa pun tentang kejadian hari ini. Kamu tahu, ayah kita pasti punya alasan kenapa belum membawamu kembali meskipun sudah tahu di mana keberadaanmu."
****
Hai, sudah lama sekali. Mulai berdebu kayaknya lapak Amuba. Semoga masih ada yang baca ya. Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar ya.
Buat yang belum tahu, dimulai dari Chapter 5 cerita ini hanya cuplikan aja ya. Meskipun lumayan panjang juga sih cuplikannya. Untuk versi lengkap bisa ke Karyakarsa.com/Amubamini sudah sampai chapter 17 di sana dan kalau lagi on time di update setiap hari Rabu pukul 20.00 WIB.
Terima kasih sudah membaca!
Salam sayang,
Amubamini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gentle Touch
RomantikSebuah kisah klise dari masa lalu. Jatuh cinta, terluka, kemudian jatuh cinta kembali. Julian tahu ia seorang pendosa. Setelah bertahun-tahun mencari, Julian merasa dirinya begitu lelah dan yakin bahwa sampai kapanpun, wanita itu tidak akan pernah m...