16 - Monster

54.2K 2.8K 86
                                        

Hai, cerita ini sudah tamat dan dapat dibaca lengkap melalui Karyakarsa ya.
Untuk cerita yang diupload di wattpad hanya sekedar cuplikan saja.

Terima kasih sudah menyempatkan waktu kalian untuk membaca, jangan lupa tinggalkan komentar dan berikan vote ya!

Sampai jumpa di chapter selanjutnya,

Salam sayang,
Amubamini.

****

"Aw! Sakit om!" jerit Aya sambil melotot ke arah Cave yang juga sedang melotot ke arahnya. Gadis itu mengusap keningnya yang baru saja disentil oleh Cave.

"Jangan tidur, masih ada beberapa soal lagi yang belum selesai."

Kalimat menggurui dan kelewat tenang yang terkandung dalam ucapan Cave membuat Aya cemberut. Terkadang ia berpikir kalau umur mereka tidak sejauh itu, tapi saat Cave bersikap lembut dan sangat dewasa seperti ini Aya baru sadar kalau umur mereka memang terpaut cukup jauh.

"Susah, om aja yang ngerjain!" rengek gadis itu dengan wajah yang semakin mengantuk.

Cave melirik jam tangan, waktu memang baru menunjukkan pukul delapan malam. Tapi mengingat Aya sudah mulai belajar sejak matahari terbenam wajar saja kalau kekasihnya itu sudah mengantuk. Apalagi Zaky sudah melenggang pergi entah ke mana, enggan untuk menyelesaikan soal-soal simulasi ujian.

Setelah melirik Aya yang masih cemberut memohon padanya, akhirnya Cave berkata, "Rapikan bukumu, ayo kuantar pulang."

Mendengar itu Aya langsung tersenyum lebar dan buru-buru merapikan buku-bukunya. Tidak sampai lima menit, gadis itu sudah hendak bangkit mengisyaratkan pada Cave bahwa ia telah siap pulang.

"Makan dulu?" tanya Cave. Pria itu ikut berdiri, ia meraih kunci mobilnya sambil memberikan kode pada Aya agar mengikutinya keluar. Saat gadis itu sudah menyamai langkahnya, Cave merangkul pelan pundak Aya.

"Mau makan apa?" tanya pria itu dengan lembut.

Hati Aya langsung berbunga-bunga, ia jadi tidak sempat memikirkan makanan yang ingin ia makan dan malah tersenyum merasakan kehangatan tubuh Cave yang menempel padanya.

"Terserah," jawab Aya membuat Cave terkekeh.

"Kamu sedang masa pertumbuhan, jadi ayo kita beli makanan mahal!"

"Mentang-mentang anak orang kaya, pamer duit mulu!" gurau Aya sambil ia mengenakan sabuk pengaman. Sudah sering Cave bercanda seperti itu. Awalnya Aya agak tersinggung, tapi setelah mengerti bahwa Cave hanya bercanda dan tidak benar-benar mengejeknya karena tinggal di rumah asuh, Aya mulai berani membalas perkataan pria itu.

"Itu juga akan jadi uangmu nanti," Cave berkata sambil mengerling jahil. Ia menjalankan mobil dengan senyuman saat melihat Aya yang tersipu malu. Gadis kecil itu menatap keluar jendela untuk menyembunyikan senyum bahagianya.

"Kamu bilang terserah, jadi tidak boleh protes dan harus habiskan makananmu, oke?"

"Siap kapten!"

Keduanya tertawa. Begitu ringan dan riang. Tapi tawa itu perlahan-lahan menghilang. Suaranya berubah sumbang. Menyentak dan melempar Cave bangun dari alam mimpi.

.

.

.

"Anda baik-baik saja?" tanya Arash sambil melirik ke kaca depan. Ia ikut terkejut saat Julian sedikit berteriak dalam tidurnya. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Rena. Arash berharap Julian tidak akan membuat keributan. Meski begitu, ia yakin atasannya ini pasti melakukannya.

"Masih jauh?" tanya Julian dengan suara serak.

"Mungkin setengah jam lagi kalau jalan tidak terlalu padat."

Jawaban Arash hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Julian. Pria itu kembali menyandarkan punggungnya mencoba merasa nyaman. Matanya menyusuri jalanan kota yang asing. Ia mulai berpikir apakah mungkin Rena memilih untuk tinggal di kota ini karena jaraknya yang jauh dari Julian.

Namun sejauh apa pun wanita itu pergi atau mencoba pergi, Julian tahu pada akhirnya mereka akan bertemu lagi. Begitulah takdir mempermainkan hidupnya. Tarik ulur yang tidak penting, kebencian tanpa dasar, juga cinta yang terlalu posesif. Saat ini, Julian benar-benar lelah.

Apalagi setelah berbulan-bulan tidak bisa melihat Rena secara langsung. Berkat janji sialannya yang mengatakan tidak akan mengusik Rena lagi. Julian hanya bisa berandai-andai, apakah Rena juga merindukan kehadirannya. Karena selama ini, ia berusaha menjadi pria baik yang menepati janji.

Namun laporan Arash tentu saja mengubah semuanya. Jika saja keluarga Leander sialan itu tidak menyembunyikan kehamilan Rena, Julian tidak akan menyerah mencari wanita itu tujuh tahun lalu. Ia akan mengupayakan segalanya agar bisa menemui Rena dan memohon maaf. Meskipun Rena pasti akan mengusir dan menolak untuk menemuinya, setidaknya Julian masih memiliki kesempatan untuk melihat anaknya lahir dan tumbuh besar.

Tidak sedikit pun pria itu ragu kalau Azka adalah anaknya. Entah bagaimana, Julian yakin hanya dengan melihat mata bulat kecokelatan milik Azka. Wajah ovalnya yang gemuk serta bagaimana bocah itu tersenyum. Semuanya adalah salinan persis dirinya.

"Tuan..."

Suara Arash yang memanggilnya pelan membuat Julian sadar bahwa mobil telah berhenti di depan sebuah rumah yang tampak nyaman. Tidak terlalu besar, tapi tidak terlalu kecil juga. Halaman depannya tertutup pagar yang tidak terlalu tinggi, jadi ketika Julian keluar dari mobil dan berdiri menatap ke dalam, ia bisa melihat samar-samar siluet anak laki-laki yang sedang bermain di dekat jendela.

Julian mendekat, tangannya hampir meraih pintu gerbang dan membukanya. Tapi Arash langsung menahan Julian.

"Seharusnya Nona Rena belum pulang, tunggulah sebentar lagi."

Tangan Julian terkepal. Tapi ia menuruti apa yang disarankan oleh Arash. Ini pertemuan pertamanya dengan Azka, dan Julian tidak mau dicap buruk. Jadi dengan berat hati, Julian kembali dalam mobil. Menunggu. Dengan kesabaran yang semakin menipis.

****

A Gentle TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang