03 - Antara Takdir dan Kata Sial

110K 3.9K 61
                                    


Julian Cave Evander. Umurnya hanya terpaut 5 tahun dari Rena dan Zaky. Tapi pria itu menyandang panggilan yang berbeda. Paman.

Sejarah singkatnya, Kakek Zaky menghamili seorang wanita yang seusia anaknya sendiri, dan di umurnya yang sudah sepuh akhirnya memiliki anak. Beda usia Julian dengan orang tua Zaky lebih dari 25 tahun. Tidak ada yang benar-benar menghitungnya.

Dikarenakan umurnya yang tidak berbeda jauh, Zaky dan Julian tidak pernah bisa akur. Zaky enggan memanggilnya paman, Julian juga benci melihat dirinya punya keponakan sebesar badak.

Setidaknya, menurut Rena dulu itu suatu fakta yang sangat lucu. Tapi itu masa lalu kan? Batin Rena berkata sinis.

Kembali pada momen saat, Julian memandang Rena dengan penuh amarah. Sedangkan asisten Rena sudah kabur lebih dulu entah ke mana.

"Anak sialan, di mana dia menemukanmu?" Julian mengikis jarak di antara dirinya dan Rena. Berdiri menjulang tinggi hanya dipisahkan oleh meja kerja.

Rena tampak tenang, atau setidaknya itu yang dia harapkan. Dari satu sampai sepuluh, tingkat kepanikannya mungkin mencapai seratus.

"Tentunya bukan di panti asuhan."

Tangan Julian mengepal samar-samar, menahan diri. Entah untuk tidak merangkum Rena dalam pelukannya atau memukul dirinya sendiri. Setelah beberapa saat keduanya hanya saling pandang. Julian memutuskan untuk berkata, "Nah nah, anak manis tidak boleh sarkastis."

Bibir Rena berkedut kesal, ingin sekali membalas perkataan pria itu tapi ia masih mengolah ungkapan menyakitkan apa lagi yang bisa ia lontarkan. Laki-laki di hadapannya inilah yang selama tujuh tahun terus menghantui setiap malamnya. Terlebih malam-malam saat ia sendirian. Hanya dengan mengingat pria ini, rasa sakit dari masa lalunya seolah merasuk kembali dan mencoba menggerogoti setiap inci tubuhnya.

"Aku belajar dari orang yang tepat," balas Rena akhirnya. Membuat Julian tertawa ringan. Tawa yang sialnya terdengar begitu merdu bagi ingatan Rena. Memang pria sialan, ujar Rena dalam hati.

"Aku percaya hal itu," sambut Julian masih dengan tawanya.

"Tapi satu hal yang sulit kupercaya," lanjut Julian ketika ia sedari tadi dengan tenang mengamati perubahan-perubahan ekspresi yang terjadi di wajah Rena. "Kucing kecil yang dulu lari dariku, kini melangkahkan kembali kakinya ke naunganku. Bukankah itu menarik?"

Mata Rena memicing tidak suka dengan perkataan Julian. Terlebih lelaki itu dengan santai menjatuhkan bokongnya di sofa tanpa permisi. Merentangkan tangan dengan lebar, benar-benar sebuah provokasi bagi Rena.

Rena menarik nafas sebanyak-banyaknya kemudian menghembuskannya dengan keras. Karena udaralah yang ia butuh kan saat ini. Julian tampak begitu sempurna di matanya meskipun sudah bertahun-tahun tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Sosoknya yang dulu saja mampu membuat Rena lemas, apalagi sekarang, ketika tubuh pria itu semakin matang. Rahang yang tampak keras dan tegas semakin membentuk sosok yang luar biasa menggoda. Dulu sekali kedewasaan yang tampak di diri Julianlah yang membuat Rena jatuh bersimpuh penuh cinta padanya.

"Kucing kecil itu kembali dengan kuku yang telah terasah, dan dapat dipastikan mampu mengacak-acak wajahmu."

Julian mengubah senyumnya menjadi sebuah senyuman miring. Hanya dengan tiga langkah besar, Julian sudah berhasil sampai di samping Rena. Ia menarik jemari Rena, mengusapnya perlahan. "Bahkan sebelum kucing itu sempat mengacak-acak wajahku sekarang, ia sudah sukses mencakar-cakar hidupku saat ia pergi tujuh tahun lalu."

Rena tak bisa menahan ekspresi wajahnya yang ingin tertawa dan marah di saat bersamaan, "Wow! Please stop it, Julian."

"Tidak sebelum aku mengatakan apa yang ingin kukatakan padamu tujuh tahun ini," Mata Julian berubah menjadi begitu serius. Rena ingin meresap ke dalamnya. Untuk tahu apa yang sebenarnya dilihat Julian di dalam dirinya. Tapi hal itu hanya akan menambah pilu dan membuka kembali luka masa lalunya.

A Gentle TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang