3.

3.5K 126 5
                                    

Semesta mengirimkan banyak pertanda ketika sesuatu yang besar akan menghadang didepan sana. Pesan yang terbalut teka teki membawa sebuah asap tebal berterbangan diberbagai penjuru isian kepala.

Sepuluh tahun berlalu, badai buruk yang jauh tertinggal nyatanya tak bisa lekang termakan usia. Sekarang, adalah saat yang tepat untuk kembali pada masa biadap itu.

"Keputusan yang tepat untuk kau kembali sekarang!" Laki laki setengah baya itu masih terduduk dikursi kebesarannya dengan membelakangi sosok laki laki yang lebih muda.

"Jika kau tau bahkan, aku tak sudi untuk kembali."

"An, dendammu itu tidaklah berguna. Apa yang akan kau dapat dengan membalaskan dendammu? Kau hanya akan melihat kematian tidak lebih dari itu."

Ruangan besar yang hanya berisi dua jiwa yang berkemelut dengan fikirannya sendiri itu menyisakan keheningan yang melanda.

"Kau tidak ingin bertemu Ibu dan Adikmu?" Marko menghampiri Antares dan menatap pemuda itu lekat. Menepuk Bahu keponakan yang sudah bertahun tahun dibesarkannya.

"Aku tidak memiliki Ibu." Tawa sumbang menghiasi sudut bibir Antares. Membuat Laki laki berkemeja serba hitam didepannya menghela nafas berat.

"Sudah kuputuskan kau akan pergi kesana! Cepat siapkan keperluanmu, kita berangkat lusa." Tekad Marko sudah bulat, kali ini hubungan antara seorang Ibu dan anak harus kembali ditegakkan.

"Kuserahkan semua padamu, Paman." Antares segera mengangkat kaki dari ruang kerja Serba Hitam milik Pamannya itu.

"Jangan lupa jenguk Ayahmu sebelum kita berangkat!"  Ucapan Marko berhasil membuat Antares menghentikan langkahnya didepan pintu kaca berwarna buram. Kemudian mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

-Antares-

Gedung besar yang berada dijantung ibu kota menjadi tujuan Antares. Motornya sudah terparkir rapi diarea parkir tempat yang bertulisan Rumah Sakit jiwa tersebut. Ia masih tidak berniat untuk masuk.

Hempasan nafas kasar berulang kali dikeluarkan dari hidung mancung itu. Mentalnya selalu dipukul mundur sejak tadi masuk ketempat ini. Kenangan bertahun tahun lalu yang seakan difilm kan didalam kepalanya dan juga dendam yang semakin menguat.

'Akan kubalaskan apa yang kau perbuat kepada kami'

Kata kata yang diucapkan seorang Antares Gasta diusianya yang masih delapan tahun, yang hingga saat ini masih melekat di hulu hatinya. Dan sampai kapanpun sebelum dendam itu bisa terbalaskan.

"Kau datang?" Ujar seorang dokter tua yang Antares kenali.

"Ya, bagaimana keadaannya?"

"Masuklah keruanganku." Antares mengangguk. Mengikuti langkah dr. Lee dari belakang.

"Dia mengamuk beberapa hari yang lalu," Titah dr. Lee menyodorkan layar monitor komputer yang menampilkan rekaman sosok Ayahnya yang sedang mengamuk.

"Seperti yang kau lihat, dia selalu memanggil nama Olive."

Gemeretak kemarahan kembali timbul diubun kepala Antares ketika mendengar nama wanita sialan itu. Yap, Olive Jeva Adyatama, seseorang yang harusnya ia panggil dengan sebutan Ibu sebelum, peristiwa laknat itu merenggut hak itu darinya.

"Aku ingin bertemu dengannya" Kata Antares yang langsung diangguki oleh dr. Lee.

Pria yang sudah menginjak kepala empat itu mengantarkan Antares menuju salah satu ruangan seperti penjara yang berhias gembok rapi dibagian pintunya.

Tatapan Antares menukik tajam kearah pria yang tidur meringkuk disudut ruangan. Hatinya melunak melihat kondisi pahlawannya yang tak berdaya.

"Biarkan aku masuk!"

"Tentu, Nak. Bujuk dia untuk makan juga!" Perintah dr. Lee yang membukakan gembok untuk Antares, setelahnya ia langsung pergi ketika melihat kode yang mengisyaratkan untuk memberikan mereka waktu berdua.

"Bagunlah!" Pinta Antares yang sudah berjongkok didepan tubuh sang Ayah.

Pria itu sedikit menggeliat akibat getaran ringan ditubuhnya. Sesaat melihat keberadaan Antares, Sangga merubah posisi menjadi terduduk.

"Kata dr. Lee kau tak makan, kenapa?" Tak ada sahutan dari Sangga kecuali tatapan pria itu yang masih menatap dalam mata elang putranya.

"Shit!" Batin Antares mengumpat, tatapan ini yang begitu dirinya benci. Tatapan penuh penderitaan dan isyarat kepedihan.

"Kau tak bersama Ibumu?"

"Lebih baik kau makan." Sodoran sepiring nasi dari tangan Antares yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Pergilah!" Teriak Sangga yang berhasil membuat telinga Antares berdenging.

Tapi bukan Antares jika ia langsung pergi. Baginya Sangga adalah pahlawan dan Ayah terhebat dihidupnya.

"Kau tak mau melihat putramu?"

"Aku tidak mengajari putraku untuk berbuat kasar kepada perempuan!" Pria itu mengalihkan tatapannya.

"Aku tidak gila, aku hanya depresi! Aku bisa melihat apa yang benar dan yang salah" lanjutnya lagi.

"Apa yang kau bicarakan?" ujar Antares mencoba menerka arah pembicaraan ayahnya.

"Jangan membeci wanita! Tidak sepenuhnya mereka sama seperti ibumu. Dan lupakan dendammu"

"Aku tidak bisa." sanggah Antares. Sudah berulang kali ia mencoba untuk menghilangkan perbuatan kasarnya kepada perempuan tapi, kenyataannya sosok Olive selalu hinggap saat disaat pandangannya melihat seorang wanita. Baginya wanita itu sama saja.

"Lepaskan Hawline jika kau tak bisa menjaganya!"

"Dia kemari?" Tanya Antares menyelidik. Memang daripada dirinya, Hawline lebih sering berkunjung. Cewek itu sudah mengenal ayahnya lama. Dari awal pertemuannya dengan Hawline.

"Pergilah! Jangan biarkan dendam menguasaimu."

"Beribu rangkaian dendam itu yang memberiku kekuatan sampai sekarang. Api yang telah tersulut tak mungkin akan kubiarkan padam begitu saja."


An:

Saya hanya ingin menuangkan apa yang ada didalam imajinasi saja. Jika tidak suka tidak masalah. Saya tidak pernah memaksa. Tapi tolong hargai jika memang kalian suka.

Saya tahu cerita ini sangat banyak kekurangannya, karena saya memang baru pertama kali menulis. Jadi jika terdapat bahasa yang tidak jelas, saya harap tinggalkan komentar kritik yang membangun. Agar saya bisa memperbaikinya dikemudian hari.
..
Happy reading...

Keyfralldy


ANTARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang