1: Introverted

1.3K 141 87
                                    

"Kita tau siapa kita, tetapi tidak tau akan menjadi apa kita" -INFP

Pagi yang cukup cerah. Cahaya mentari masuk menyelinap melalui sela-sela tirai jendela kamarku. Menurutmu ini pagi yang indah? Big no for me. Aku benci rutinitas bangun pagi, siap-siap ke sekolah dan mempelajari hal yang belum tentu kusukai. Tapi semua harus kulakukan karna aku masih seorang siswi SMA tahun kedua di salah satu highschool di Vancouver, Canada.

"Ashley! Are you want to sleep till evening?? Wake up you couch potato!" Seru ibuku.

Oh god i hate my life routine.

"Yes mommy," jawabku setengah bertenaga. Aku mulai beranjak dari tempat tidurku dan bersiap untuk mandi.

Tahun kedua di SMA dengan pelajaran yang semakin sulit dan membosankan. Membayangkannya saja sudah membuatku malas. Belum lagi dihadapi drama-drama sekolah yang buat aku semakin malas. Just like, oh girls come on. Tak bisakah kalian hidup dengan damai tanpa gosip dan konflik. I mean, kehidupan SMA sangat penuh dengan drama kehidupan yang aku sendiri tidak tau apa tujuan mereka yang terlalu mendramatisir hidupnya.

"Mandi saja lama sekali, anak perempuan bukannya bangun pagi bantu ibu masak sarapan. Ibu kewalahan karna hari ini ibu dapat shift pagi di rumah sakit," keluh ibuku panjang lebar.

Ya dia perawat di salah satu rumah sakit di kotaku dan ayahku seorang dokter gigi yang juga bekerja disana. Kau pasti terbayangkan bagaimana kerasnya kehidupan rumah kami yang diatur oleh seorang dokter dan seorang perawat?

Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang yeah kami cukup dekat sebagai kakak adik. Dan kurasa kami memiliki sifat keras kepala yang sama.

"Kau mau membawa gitar lagi ke sekolahmu?" tanya ayahku yang sedang menikmati sarapannya di meja makan dengan tatapan datar dan tidak senang.

Yep, aku keluar dari kamarku dengan menggandeng gitar kesayanganku untuk dibawa ke sekolah. FYI, kami hanya tinggal di apartemen yang menurutku cukup nyaman dan tak terlalu luas namun juga tak bisa dibilang sederhana. Kamar ku dekat dengan meja makan dan dapur. Jadi jangan tanya siapa yang sering makan cemilan di kulkas diam-diam tengah malam. Aku orangnya.

"Haaah, kakak adik sama saja. Apa tidak ada yang mau meneruskan pekerjaan ayah atau ibumu ini? Kakakmu pergi ke Chicago untuk kuliah IT sedangkan kau, kau mau jadi apa setelah ini Ashley?" tanya ibuku.

Well, jawabannya tidak tau.

Aku selalu bilang ke ibu dan ayahku bahwa aku ingin menjadi musisi. Playing and making music is my passion. Tapi aku tak pernah mendapat restu dari keduanya. Mereka bilang menjadi musisi bukan hal yang mudah. Kau bisa jadi gelandangan kalau musik mu tak laku. Mereka selalu memaksaku mengambil kedokteran atau keperawatan karna lebih menjamin kedepannya. Ya, aku memang respect dengan orang-orang yang kerja di bidang kesehatan seperti kedua orang tuaku. Bekerja demi kesehatan dan keselamatan banyak jiwa. That was good. Tapi seperti yang kubilang, passion ku di musik. Tak heran kenapa kakakku dulu ingin cepat-cepat tamat SMA dan kuliah di luar Canada karena tak tahan dengan omelan mereka mengenai karir. Jujur saja pagi ini moodku jadi tidak bagus. Aku benci omelan.

"Sorry dad, tapi aku akan terus membawa gitar ini. Terlepas aku akan lanjut kemana nantinya biar kupikirkan sendiri. Kalian tak usah khawatir," jawabku sambil menggigit sepotong penuh roti sandwich buatan ibuku.

"Dan kuharap kau akan lanjut ke kedokteran," sambung ibuku.

Jujur, mereka orang tua yang otoriter. Mereka selalu menekan anaknya untuk menjadi apa yang mereka mau. Dan sejujurnya mentalku selalu tertekan karena mereka. Aku sayang mereka tapi perlakuan mereka memembuatku menjadi seorang yang pelawan dan durhaka kepada orangtua. Padahal aku tak pernah berniat menjadi anak yang durhaka.

"Aku pergi," sahutku setelah menghabiskan sepotong egg sandwich.

Aku keluar dari apartemen menelusuri sepanjang koridor menuju lift. Kulihat arlojiku sudah menunjukkan pukul 08.30 dan kelas dimulai pukul 09.00. Kalau aku tidak cepat berjalan ke halte aku bisa ketinggalan bus. Walupun awalnya aku malas tapi aku tak suka dengan keterlambatan. Ya ampun aku merasa moodku bertambah tidak bagus pagi ini.

Dengan cepat aku masuk kedalam lift dan rasanya aku ingin cepat-cepat menutupnya. Setelah lift hampir tertutup tiba-tiba aku melihat seorang pria asing yang terlihat sebaya denganku berlari menuju lift sambil membawa bola basket di tangan kanannya dan menyandang ransel di bahu kirinya.

"Wait!!" seru nya dari kejauhan.

Aku langsung menekan tombol buka dan membiarkannya masuk.

"Oh god, thank you"

"No problem," jawabku singkat.

Sejujurnya aku baru pertama kali melihatnya pagi ini. Siapa pria ini? Tetangga baru kah?

"Kau tinggal di lantai 7 juga ya?" tanyanya kepadaku.

"Iya," jawabku singkat dan jelas.

Aku tak suka berbicara dengan pria yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Lebih tepatnya tidak nyaman.

"Namaku Mark. Aku baru pindah dari Miami ke apartemen nomor 271 bersama ibuku. Salam kenal," sahutnya lagi sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya sebagai tanda ingin berkenalan.

Sekilas aku melihat wajahnya yang lumayan manis menurutku. Tapi aku tak berniat bersalaman dengannya. Sama sekali.

"Ashley," jawabku yang lagi-lagi super singkat dan menghiraukan ajakannya ingin bersalaman.

Perlahan dia menarik tangannya kembali karena tau aku tak ingin bersalaman dengannya.

"Okay ...," sahutnya pelan.

Suasana lift kemudian hening sampai akhirnya pintu lift terbuka tepat di lantai dasar apartemen. Aku keluar dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa karena jarak antara apartemen dan halte bus sekolah cukup jauh.

Setelah cukup lama aku berjalan aku baru tersadar. Ya pria tadi, apakah dia mengikuti ku? Atau kami memang kebetulan searah? Aaah whatever.

Aku terus berjalan hingga akhirnya sampai di halte pemberhentian bus sekolah bersamaan dengan Mark yang sekarang tepat berada di sebelahku. Yap, di pemberhentian bus, berdua dan menunggu bus yang sama.

• • • •

MBTI Series : Mr. Sunshine (INFP girl & ENFJ boy) ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang