3: Emotion

446 77 20
                                    

"Jika kita berada di bawah tekanan, kita biasanya akan mudah marah dan kita akhirnya tidak bisa menggunakan logika dengan baik ketika hal tersebut terjadi" -INFP

Ashley POV

"Jadi kau kelahi lagi dengan orang tuamu?" tanya Jean di sela-sela kegiatan kami yang sedang mengganti pakaian sekolah menjadi pakaian olahraga.

"Yeah, padahal aku tak memulai apapun. Mereka saja yang selalu memulai perdebatan. Aku jadi semakin yakin kalau mereka itu tidak peduli dengan anaknya dan lebih mementingkan ego mereka," jawabku.

Entah kenapa dari aku masih kecil aku selalu berfikir kalau orangtuaku tidak pernah peduli dengan apa yang anak mereka inginkan.

Contohnya dulu saat aku kelas 5 Sekolah Dasar, aku sangat ingin ikut les piano. Sampai ingin menangis rasanya karna aku sangat menyukai suara dentingan piano yang sangat indah. Namun saat aku mengungkapkan keinginanku itu, ibuku malah marah dan menceramahiku. Hingga akhirnya aku bukan di masukkan ke les piano tapi malah di masukkan ke les matematika karena nilai matematikaku selalu jelek.

Lalu saat aku mulai memasuki masa pubertas, aku sempat menyukai seseorang. Namun saat aku menceritakan hal tersebut ke ibuku, ibuku malah menyuruhku untuk fokus belajar dan jangan masuk ke dunia cinta-cintaan karena itu tidak ada gunanya bagiku. Karena aku kesal akhirnya aku pacaran diam-diam. Namun ibu dan ayahku sangat jeli. Mereka berusaha agar aku dan pacarku putus. Mereka selalu menjemputku setiap pulang sekolah dan selalu membatasi kegiatanku agar aku tidak bisa bertemu dengan pacarku.

Semenjak itu aku sudah kehilangan kepercayaan dengan kedua orangtuaku. Aku tak pernah menyampaikan perasaan dan keluh kesahku kepada mereka karena menurutku hal itu sia-sia saja.

"Ash, aku tahu kau kesal dengan mereka. Tapi jangan mengesampingkan logikamu. Sebenarnya mereka hanya ingin anaknya menjadi orang yang hebat dan lebih baik lagi," ceramah Jean lemah lembut kepadaku.

"Ya tapi cara mereka salah. Aku harap mereka mau berubah dan mendengarkan keinginan anaknya, Jean. Aku sebenarnya sangat iri kepada ibumu yang selalu terbuka dengan keinginan anaknya," jawabku sendu.

"Yasudah biar kusampaikan pada ibuku bahwa kau mau menjadi anak angkatnya. Tapi kau harus jadi adik ya. Aku yang jadi kakak biar kau bisa aku suruh-suruh. Hehe," ucap Jean dengan sedikit candaan recehnya.

"Pfttt ... kalau begitu aku tidak mau. Aku tak sudi punya kakak sepertimu," jawabku sedikit tertawa karena ulah Jean.

"Nah gitu dong, kau sangat manis kalau tersenyum. Jangan pendam masalahmu sendiri ya. Berbagilah denganku. Kita kan BFF," sahutnya lagi sambil tersenyum lebar.

"Thanks, Jean. Terimakasih sudah mau mendengarkan masalahku yang rumit ini," jawabku yang sedikit terharu dan bahagia bisa punya teman sepertinya.

"No problem babe. Yuk ke gymnasium. Sebentar lagi pelajaran olahraga mau di mulai," ajak Jean yang mulai menarik tanganku keluar ruangan.

Walaupun orangtuaku bukan orang yang pengertian, setidaknya Aku punya Jean sebagai teman yang selalu mengerti Aku.

• • • •

"Oke anak-anak, hari ini kita akan belajar bermain basket. Tapi karena pak William tidak bisa masuk hari ini karena sakit jadi kita belajar gabungan dengan kelas 2-2. Bapak harap semuanya bisa akrab dengan kelas sebelah" Jelas pak Dennis panjang lebar.

"Wait, Ashley kelas sebelah berarti kelas yang ada Mark kan? Oh my god aku penasaran tampangnya seperti apa," seru Jean kegirangan.

Aku hanya tertawa pelan melihat tingkah temanku ini. Tak pernah ada habisnya kalau sudah membicarakan tentang cowok.

"Yang cewek cari pasangannya, kalian akan belajar dribble dan pass bola di pinggir lapangan. Yang cowok boleh bentuk dua grup dengan kelas sebelah dan kalian akan tanding di lapangan. Bapak mau lihat siapa yang kompeten untuk bisa bapak ajak ke pertandingan basket tahun ini,"

"Wow, sepertinya akan seru," sahut Jean.

"Jean, kau harus dukung aku atau kelas kita tidak akan menang," celetuk Leon yang daritadi sudah berdiri di sebelah kami berdua.

"Pede sekali anda," ejek Jean.

"But yeah, kuharap kelas kita bisa menang sih. Semangat Leon!!" lanjutnya lagi penuh semangat.

Sedetik kemudian aku bisa lihat pipi Leon sedikit memerah. Aku tahu dia suka dengan Jean sejak lama, tapi dia bahkan lebih bodoh dariku dalam mengungkapkan perasaan. Dasar anak satu ini.

Tak lama pertandingan antar cowok dari kelas kami dan kelas sebelah dimulai. Kami memperhatikan pertandingan dari kejauhan sambil berlatih dribble bola di pinggir lapangan. Tapi kurasa cewek-cewek banyak yang lebih memilih untuk menyaksikan pertandingan dari pada berlatih dribble dan pass.

Dari kejauhan aku bisa melihat Mark dengan penuh semangat bertanding Basket dan terlihat sangat serius dalam pertandingannya.

"Maaaark, oh my god you so damn hot," teriak salah satu gadis yang kukenal dari kelas sebelah. Elena. Dia kapten cheers sekolah kami.

"Hah, jadi cowok itu yang namanya Mark? Ashley dia ganteng banget!!" Seru Jean yang tak kalah terpesona dengan kerennya penampilan Mark di lapangan.

Aku hanya diam menyaksikan. Walaupun aku juga merasa kalau dia keren saat ini tapi aku tak tertarik.

"Jean, kau dukung kelas sebelah atau kelas kita??" ejekku.

"Tentu saja aku tak mau kelas kita kalah. Tapi Mark itu punya kharisma yang luar biasa. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini," balasnya.

Haaah, Leon kurasa akan menangis kalau melihat ini. Tatapan Jean bahkan tak lepas dari Mark.

"Hey! Kau mau kemana Ashley?" Sahut Jean tiba-tiba saat aku hendak mau keluar dari lapangan.

"Aku mau minum," jawabku.

"Ok, jangan lama-lama ya." Balasnya.

Akupun mulai melangkah menuju salah satu kursi penonton yang ada di gymnasium untuk mengambil botol minum yang sudah kuletakkan daritadi di sana. Namun belum jauh aku melangkah tiba-tiba kepalaku terbentur bola basket dengan sangat keras. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Yang kutahu setelah itu adalah pandanganku yang mulai gelap dan tubuhku terasa seperti melayang ke udara.

• • • •

MBTI Series : Mr. Sunshine (INFP girl & ENFJ boy) ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang