"Kita selalu berusaha menjauh ketika terjadi konflik, kita tidak suka hal tersebut dan lebih memilih untuk menghindarinya" -INFP
Ashley POV
"Ashley, wake up." Sahut ibuku pelan.
Aku terbangun dan mulai mengerjapkan mata. Pagi ini kepalaku masih terasa sakit tapi aku bersyukur rasa pusing di kepalaku sudah berkurang.
"Ini minum obatnya, bagaimana kepalamu?" tanya ibuku
"Masih sakit,"
"Huh, bagaimana kau bisa teledor seperti itu. Ceroboh sekali. Seharusnya kau lebih berhati-hati. Tadi saat aku menelfon wali kelasmu, bu Merry, untuk meminta izin karena kau tidak bisa ikut pelajaran hari ini, ternyata kelas kalian akan ulangan matematika. Aku harap besok kau bisa mengejar ketertinggalanmu itu," sahutnya ketus sembari membuka obat untuk kuminum.
Astaga, bagaimana bisa ibuku lebih memperdulikan nilaiku daripada diriku sendiri.
"Mom, apakah nilaiku lebih penting daripada keadaan anakmu saat ini?? Lagipula ini kan kecelakaan. Memangnya aku yang minta untuk di lempar bola ke kepalaku?" jawabku kesal.
"Ya karna kau tidak awas, sekarang semua orang jadi repot dan khawatir. Ayah ibu bekerja seharian di rumah sakit dan harus meninggalkan dirimu sendirian di rumah dalam keadaan seperti ini. Kau fikir ibu tidak kepikiran nanti selama bekerja? Aku juga jadi tidak enak dengan ibunya Mark karna sudah membuat dirinya dan anaknya kerepotan karenamu," lanjutnya lagi panjang lebar.
Akhh, Aku jadi tambah sakit kepala karena mendengar omelan ibu. Apa dia tidak bisa satu hari saja tanpa omelan?? Aku tidak tahan.
Dengan sedikit kasar aku minum obat yang sudah disediakan ibuku. Aku bangkit dari atas kasur, kugenggam ponselku yang kuletak di atas nakas dan kemudian aku mengambil cardigan berwarna cream yang tergantung di belakang pintu.
"Hey! Kau mau kemana?!" serunya kepadaku
"Keluar. Mencari udara segar. Omelan ibu hanya membuat kepalaku semakin sakit," jawabku tanpa sedikitpun menoleh ke arah ibu.
"Kau itu masih sakit Ashley! Hey! Dengar ibumu ini dan kembali ke kamar!!" teriak ibuku.
Aku tak memperdulikannya dan terus berjalan keluar apartemen. Tanpa sadar air mataku sudah mengalir membasahi pipi.
"No, Ash. Don't cry. Hold your tears." Seruku dalam hati.
Kupencet tombol lift dengan kasar. Aku tak bisa berfikir jernih saat ini. Dan sialnya kepalaku masih terasa berat.
Sudah hampir satu menit aku menunggu lift yang tak kunjung turun dari lantai 15 ke lantai 7. Aku hanya terdiam menatap pintu lift sambil sedikit sesenggukan. Tak lama setelah lift terbuka, tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang.
"Hi, Ash. kepalamu sudah tidak sakit? Kau mau kema- hey! Kau menangis? What's going on?" sahut Mark yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.
"No, i'm not crying. Don't worry about me." Jawabku yang masih menahan air mata.
"Follow me."
Tiba-tiba saja Mark menarik tangan ku dan kami berdua masuk kedalam lift. Dia kemudian memencet tombol lift ke lantai paling atas dari gedung apartemen ini.
"Kau mau membawaku kemana Mark??" tanyaku heran.
Dia tidak berniat untuk menyuruhku bunuh diri dengan cara loncat dari atas gedung kan?
"I'm gonna take you to a peace spot of this building," jawabnya yang masih menggenggam tanganku erat.
• • • •
KAMU SEDANG MEMBACA
MBTI Series : Mr. Sunshine (INFP girl & ENFJ boy) ✔
Teen FictionPernahkah kamu merasa di dunia ini tidak ada yang bisa mengerti kamu? bahkan kamu merasa orangtuamu pun tidak pernah mengerti kamu. Gelap, sunyi, itulah gambaran hatimu. Pernahkah? Ya seperti itulah diriku. Aku bahkan tak punya banyak teman karna k...