CHAPTER 3

113 35 0
                                    

Langit pun menjadi saksi bisu atas pertemuan mereka yang tak terduga, memancarkan kebahagiaan yang tak terbatas bagi keduanya.

Namun, setelah menjalani perjalanan yang penuh dengan cerita indah bersama lelaki tersebut, takdir memutuskan jalan yang berbeda. Kabar duka menyelimuti hati ketika kabar kematian Arsha tersebar seperti sayap burung yang terbuka lebar, terdengar pilu. Langit menjadi kelam, seakan-akan menangisi kepergian orang yang pernah bersinar di bawahnya.

Kepergian Arsha meninggalkan luka yang mendalam di hati Anantara, mengguratkan kesedihan yang tak terlupakan di dalam dirinya. Meskipun langit masih bersinar cerah di atas sana, namun kepergian Arsha telah menggelapkan langit pribadi Anantara.

“Terima kasih telah mencintaiku sedalam ini seperti kamu mencintai langit dengan segala isinya, Arsha. Tuhan, aku masih memandang langit yang sama seperti langit yang dulu Arsha pandangi, dan Tuhan, tak lama lagi langitnya akan redup, malam akan tiba dan kemudian bulan beserta bintang-bintang itu akan datang tapi justru engkau biarkan dia pergi,” tutur Anantara bersama rintihan tangisnya yang tak terbendung, meluap begitu ia berada di tempat peristirahatan terakhir dari sosok lelaki yang sungguh-sungguh mencintainya.

Di tengah-tengah rintihan tangis Anantara yang luar biasa untuk kepergian Arshaka, tiba kehadiran sosok perempuan asing yang lagi-lagi tidak Anantara kenali datang dengan wajah yang juga dipenuhi kesedihan, menyulut keingintahuan Anantara akan siapa sosok perempuan itu, menggiringnya pada misteri yang tersembunyi di balik kepergian Arshaka.

“Beruntungnya kamu menjadi sosok perempuan terakhir yang dicintai dengan tulus oleh seorang lelaki seperti Arsha,” ucapnya dengan penuh empati, ia mengulurkan satu tangan ke atas pundak Anantara, seolah ingin merangkulnya dalam ungkapan rasa keprihatinan yang mendalam.

Dengan wajah kebingungan, Anantara bertanya, “S-siapa kau?”

“Anindhita, Arsha memanggilku Anin. Sebelum akhirnya memutuskan untuk bersamamu, Arshaka adalah langit yang cerah bagiku, hidup lebih lama denganku, juga berbahagia denganku, dia mencintaiku sebagaimana dia mencintaimu…” jelas Anin dengan suara yang mulai bergetar menahan kerapuhannya di hadapan perempuan terakhir yang dicintai oleh lelaki yang paling ia cintai.

Sementara Anantara terdiam. Raut wajahnya menunjukkan kekagetan yang dalam saat mendengar penjelasan yang disampaikan Anindhita. Ia merasakan luka yang lebih besar menusuk hatinya ketika mengetahui hal tersebut, menyakitkan. “T-tapi k-kenapa…” belum selesai ia bertanya, Anin menyahut dengan tatapan tajam. “Menyerahkan bukan berarti tidak mencintai, Anantara. Cintaku bukan perihal rasa, hanya saja menunggu waktu bersama. Dan, rasa cintaku lebih besar darimu sebab aku membiarkan Arsha bersamamu. Bukankah mengikhlaskan itu adalah titik paling tinggi dalam mencintai? Ketika aku membiarkan sosok lelaki yang aku cintai mencintai perempuan lain,” Anindhita terdiam sejenak, “Terkadang, mengagumi keindahan langit dan memastikan langit cerah saja sudah lebih dari cukup.”

Dua Atma SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang