Prolog

23 2 0
                                    

Malam itu di sebuah kampung, bertiup angin semilir yang sangat dingin, suasana sangat sepi, tidak ada seorang pun berani keluar pada malam itu, kecuali dua hansip yang sedang melakukan tugasnya untuk berkeliling kampung.

"Eh, Mon, kemarin kamu mendengar pengumuman dari Pak RW?" tanya Deden dengan logat sunda. Deden merupakan orang asli sunda. Deden berpostur tubuh sedang, tinggi tubuhnya sedang-sedang saja, antara 160-170 cm. Rambutnya baru sedikit yang beruban, tatapan matanya pun masih tajam seperti saat ia muda dulu. Kulitnya pun belum menunjukkan tanda-tanda penuaan. Dinilai dari penampilannya, orang mungkin akan mengira Deden masih berusia setidaknya 30 atau 40 tahun, tapi umur sebenarnya dari hansip kampung yang satu ini adalah 68 tahun. Walaupun ia sudah berumur hampir 70 tahun, tapi ia masih memiliki semangat hidup yang tinggi, bagaikan anak muda. Ia selau bersemangat dimana pun dan kapan pun.

"Dengar apa, Den?" Momon bertanya balik. Sama dengan Deden, Momon pun merupakan orang asli sunda. Momon adalah sahabat dekat Deden, walaupun berbeda umur, tapi persahabatan mereka sulit untuk dipisahkan. Deden dan Momon seperti halnya air dan api, alias selalu bertolak belakang, baik sikapnya maupun tubuhnya. Momon bertubuh agak gempal, tinggi tubuhnya lebih pendek daripada Deden, rambutnya juga tidak seperti Deden yang baru sedikit beruban, rambut Momon banyak sekali beruban, tapi sedikit sekali rambut hitamnya. Tatapan mata Momon sudah mulai sayu, minus pada matanya sudah mulai bertambah lagi layaknya kakek-kakek pada umumnya. Begitu juga yang terjadi pada kulitnya, Kulit Momon sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan dengan jelas, keriput di sana-sini. Tidak sepeti Deden yang umurnya sudah akan mulai memasuki usia 70 tahun, usia Momon baru mencapai 60 tahun. Semangat hidupnya juga berbeda dari Deden, Momon sudah jarang lagi berolahraga, ia lebih memilih santai dan tidur di rumahnya daripada keluar rumah seperti halnya yang dilakukan oleh Deden.

"Itu, yang__" ucapan Deden terhenti tiba-tiba ketika ia mendengar sebuah suara.

KRIEET

"Den?" kata Momon sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Deden yang sedang terbengong.

"Mon, kamu dengar tidak tadi?" tanya Deden.

"Eh, nanya lagi. Aku tidak dengar pengumuman dari Pak RW." jawab Momon.

"Bukan, Mon, bukan itu."

"Terus, apa dong, Den?" tanya Momon.

"Tadi ada suara pintu terbuka gitu lah." ujar Deden.

"Ah, yang bener, Den. Jangan nakut-nakutin aku, dong..." kata Momon sudah mulai terlihat ketakutan.

"Gak, Mon, aku gak nakut-nakutin kamu, tadi aku benar mendengar jelas__"

KRIEET

BRAAKK

Suara bantingan pintu itu sangat keras sehingga mereka berdua sampai melonjak kaget.

"Tuh, kata aku juga apa, Mon." kata Deden.

"Iya, Sekarang terdengar sama aku." Momon mulai percaya bahwa Deden bukan bermaksud untuk menakut-nakutinya.

"Coba sini, Mon." ajak Deden.

"Mau kemana, Den?" tanya Momon

"Kemana lagi? Ya mau ke asal suara tadi, Mon."

"Mau apa ke sana, Den?" tanya Momon tidak percaya atas hal yang akan dilakukan oleh Deden.

"Aku mau menyelidiki asal suara tadi dari mana, Mau ikut gak, Mon?" ajak Deden.

"Aduuh.. Den..perut aku sakiit, kamu aja sendiri, ya, Den.." kata Momon sambil berpura-pura sakit perut.

"Ya sudah, tapi kalau aku tinggal, kamu nanti sendirian di sini, terus nanti ada hantu, terus hantu itu__HAA!" kali ini Deden benar-benar menakut-nakuti temannya itu.

The Gold Keys [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang