Part 24

9K 311 34
                                    


   Panggilan sebelum memasuki gerbang membuat perempuan berambut sebahu menoleh dan terpaksa menatapnya beberapa detik sebelum ia mengalihkan pandangannya lurus lagi ke depan. Karin— perempuan itu tidak terlalu peduli pada seseorang yang memanggilnya tadi. Apalagi dia adalah penyebab kenapa beberapa minggu belakangan ini selalu tidak mood.

  "Please, ijinin gue deket lagi sama Shena." Nate setengah merengek. Ia menyetarakan langkahnya dengan Karin.

   Karin menghembuskan napas kesal. Baru kali ini ia benar-benar kesal kepada seseorang yang labelnya adalah mantan pacar sahabatnya.

  "Gue udah baik ngebiarin lo nggak babak belur kek beberapa minggu yang lalu." Karin menghentikan langkahnya. Ia menatap Nate dengan tatapan sadis yang membuat Nate bersusah payah meneguk salivanya.

  "Lo tau, kan. Gue nggak suka di rengekin apalagi sama cowok." Lanjut Karin.

  "Tapi, Rin—" Nate sudah dipastikan akan berlutut di depan Karin. Namun saat melihat Karin melinting sebelah lengan seragamnya, Nate mengurungkan niatnya.

  "Nate, nggak semua kisah cinta patut di perjuangin." Karin menghentikan lintingan lengannya. "Kalau lo merasa bersalah, lo harus berubah. Gue udah gedek banget lihat lo sok cakep tebar pesona seakan-akan lo orang paling cakep yang nggak akan pernah di tolak cewek." Lanjut Karin pedas.

   Beberapa detik Nate terpaku oleh ucapan Karin yang amat sangat galak menurutnya.

  "Sekali lagi, gue kasih tau. Mau lo jungkir balik buat narik perhatian Shena, pun, percuma. Hasil akhir yang lo dapat bakal sia-sia." Ceramah Karin menyudahi perdebatannya dengan Nate pagi ini.

   Nate meraup wajahnya sendiri dengan kesal. Ia baru memikirkan kejadian beberapa bulan lalu yang sudah pasti membuat Shena kesal bukan main kepadanya.

   Tanpa disadari, sedaritadi ada dua pasang mata yang sedang menyaksikan hal tersebut.

//

   "Rin, lo percaya nggak sih?" Tanya Shena menggantung. Ia sedang mengeja tulisan di papan tulis yang terlalu kecil sehingga matanya harus menyipit.

  "Apa." Sahut Karin sembari memperhatikan wajah sahabatnya dari samping.

  "Percaya nggak kalau ada cowok mapan, ganteng, baikkk banget. Tapi nggak ada yang minat." Lanjutnya. Matanya masih menyipit menebak apa huruf selanjutnya yang akan di tulis oleh teman sekelasnya.

  "Maksud lo cowo itu nggak ada yang minatin?" Tanya Karin memperjelas apa maksud dari pertanyaan Shena.

   Shena hanya mengangguk sebagai jawaban.

   Karin tersenyum kecil. "Bukan nggak ada yang minat, tapi dianya yang nggak minat." Sahut Karin lalu menulis apa yang sedang Shena tulis.

  "Ha? Gimana gimana?" Tanya Shena yang langsung mendapat gebrakan dari guru bahasa indonesia.

  "Shena! Asik sekali ya ngobrolnya, ibu nggak di ajak?!" Tanyanya setengah membentak yang membuat Shena reflek menjawab.

  "Sini Bu, nimbrung. Siapa tau nyambung."

   Shena dan Karin terus mengitari rak demi rak untuk mencari kumpulan pantun yang Bu Gigi— guru bahasa indonesia— maksud. Kalau bukan karena Shena nyeletuk asal, mereka berdua tidak akan berada di perpustakaan saat ini.

  "Lo ngapain ikutin gue sih." Ujar Shena yang langsung mendapat jawaban dari Karin.

  "Berisik lo. Udah, cari yang bener." Sahutnya.

   Shena menghela napas. Ia sudah tidak paham bagaimana buku yang Bu Gigi maksud. Karena setelah menemukan ciri-ciri yang serupa, itu bukanlah buku pantun, melainkan cerpen.

  "Kayaknya yang Bu Gigi maksud tuh bukan warna hitam, deh, She." Ujar Karin yang membuat Shena mengangguk.

  "Masih muda udah pikun aja." Celetuk Shena yang membuat Karin berdehem tak jauh darinya.

  "Jadi kamu ngatain saya pikun?" Bu Gigi berdiri tepat beberapa meter di belakang Shena.

  "Hehe, nggak kok, Ibu cantik." Shena cengengesan sedangkan Karin menahan tawanya karena Bu Gigi melayangkan pelototan andalannya.

  "Ibu mau apa? Bakso? Saya beliin ya ke kantin." Shena menggeser tubuhnya perlahan agar lepas dari tatapan Bu Gigi.

  "Nggak pakai lama." Sahut Bu Gigi pada akhirnya.

   Shena langsung berlari keluar dari perpustakaan saat diberi kesempatan.

//

   Beberapa hari belakangan Shena agak aneh menurut Bara. Ia tidak lagi menyahuti obrolan Bara yang biasanya selalu membuat dirinya kesal.

  "She." Panggil Bara saat Shena sedang menonton televisi.

   Shena menoleh sebentar lalu menatap layar kembali.

  "Mau es krim?" Tanya Bara. Ia mendudukkan dirinya di sebelah Shena. Shena refleks menggeser dirinya yang terlalu dekat dengan Bara.

  "Kamu kenapa?" Tanya Bara bingung.

   Shena hanya diam. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Siapa wanita yang menelpon Bara beberapa hari yang lalu?

  "Saya—"

   Shena memotongnya dengan cepat. Ia sudah memutuskan untuk bertanya. "Siapa Riri?"

   Bara tidak kaget. Ia memasang wajah datar seperti biasa seakan Riri—orang yang Shena maksud— bukan hal yang membahayakan baginya.

  "Rekan kerja." Sahut Bara. Ia berdiri dari duduknya.

  "Kok manggilnya sayang, sih?" Tanya Shena lagi. Kini ia ikut berdiri dan mengekor di belakang Bara.

  "Kenapa? Kamu mau juga di panggil sayang?" Tanya Bara yang kini berjalan menuju dapur.

   Shena sedikir terkejut namun detik kemudian ia menguasai dirinya kembali. "Kamu selingkuh ya!" Shena menghentakkan kakinya persis seperti anak kecil.

  "Nggak." Bara mengambil satu cup eskrim dari kulkas.

  "Aku mau nangis aja, aku di selingkuhin!" Shena berbalik dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

  "Jangan. Saya nggak ijinin." Bara memutar tubuh Shena agar menghadap dirinya. "Riri memang seperti itu. Dia seperti itu ke semua orang." Bara berusaha menjelaskan. "Kamu mau bertemu sama dia?" Lanjutnya.

  "Jadi... kamu nggak selingkuh?" Tanya Shena yang sedang menenggak melihat wajah Bara.

   Bara menggeleng. "Bisa dapat kamu adalah kebahagiaan yang nggak bisa di ganti dengan apapun." Bara menaruh cup eskrimnya di atas kepala Shena lalu ia menangkup kedua pipi shena. "Ada lagi?" Lanjut Bara.

  "Nggak, aku penasaran itu aja." Ujar Shena dengan tatapan yang mengesalkan seperti biasa.

   "Cemburu ya?" Pikir Bara. Ia tersenyum singkat sebelum mengambil eskrim yang ia taruh di atas kepala Shena.

  "Ish Bara! Basah!" Shena mengelap puncak kepalanya yang tertetes air dari cup eskrim yang bara taruh di atas kepalanya.

  "Yang netesin air siapa?" Tanya Bara.

  "Cup eskrimnya!" Sahut Shena kesal.

  "Terus?"

  "Kok terus sih?" Shena menautkan kedua alisnya.

  "Ko yang di panggil saya."

   Shena menghembuskan napas kasar. Bara memang manusia paling menyebalkan. Ia tak tahu harus mengeluarkan berapa makian untuk Bara kali ini.

•••

Jangan lupa di vote ya biar ceritanya bisa lanjut hehe. Oh iya, ajak teman teman kalian untuk baca cerita ini juga ya!:) terimakasih - esperanza

Nikah muda! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang