✏️✏️✏️Saat sinar surya telah mengintip dan memasuki celah gorden kamar itu, seorang pria yakni si pemilik kamar sudah berada di hadapan cermin besar. Menatap gambaran manusia yang sama persis seperti dirinya di sana. Dia adalah Gilbert.
Ditatapnya diri itu lamat-lamat. Ia masih tak percaya bahwa seorang Gilbert Aldianto ternyata bisa bangun sepagi itu saat akan melaksanakan kegiatan di sekolah nantinya. Biasanya pukul 07.00 ia masih bergelayut manja dengan selimut tebalnya, hari ini pukul 06.30 dirinya sudah siap dengan pakaian sekolahnya. Walaupun nyatanya ia masih memiliki banyak waktu untuk berbenah, ia tidak melakukannya.
Penampilannya sekarang tidak ada bedanya dengan saat ia terlambat bangun. Kacau. Dengan kemeja putih bersematkan logo OSIS di saku kiri yang menjuntai bebas di luar tanpa terbesit niat menyelipkan ujungnya ke dalam celananya. Juga dasi yang sama sekali tidak tampak keberadaannya. Bagaimana tidak, selama Gilbert bersekolah di sekolah lamanya ia bahkan tidak memiliki dasi.
Dengan percaya diri ia berlalu bersama pantulannya dari hadapan cermin, membuka pintu kamar setelah mengambil sebuah tas sekolah berwarna hitam yang mana hanya ada satu buku tulis di dalamnya, berjalan turun ke lantai dasar menuju meja makan.
"Tiap hari cucuku selalu ganteng" komentar si nenek untuk pertama kali.
"Udah dari lahir Nek" balas Gilbert tersenyum.
"Nah cepat makan dulu. Nanti kau terlambat" ucap si nenek yang di balas dengan anggukan oleh Gilbert.
Setelah selesai dengan aktivitas sarapannya, dan sedikit perdebatan ringan untuk mengantar Gilbert ke sekolah oleh kakeknya, akhirnya Gilbert berangkat sekolah tanpa perlu di antar oleh sang kakek. Yang benar saja seorang Gilbert di antar ke sekolah.
Walau sudah di beri petunjuk oleh kakek, Gilbert tetap saja meminta bantuan Google Maps untuk membantu ia menuju sekolah barunya itu.
Setelah sampai di persimpangan kompleks rumah kakeknya, Gilbert bingung bagaimana caranya tiba di sekolah. Naik angkutan umum? No way, Gilbert akan senang hati menolak. Hingga detik berikutnya terbesit ide di otaknya.
Ojek online. Yah dia akan menggunakan aplikasi hijau di layar ponselnya itu.Hanya membutuhkan waktu lima belas menit Gilbert telah tiba di depan gerbang sebuah sekolah. Tertera di atasnya 'SMA Negeri 1 Medan'. Tidak sulit bagi Gilbert untuk di terima di sekolah negeri sekalipun sekolah favorit. Alasannya adalah sekolah lamanya juga sekolah negeri, selain itu nilai yang ia miliki juga mampu mengantarkannya ke sekolah favorit. Kelakuannya saja yang remedial. Namun untuk nilai, ia bahkan mencapai nilai sempurna.
"Wow, sekolah baru gue bagus juga. Hai sekolah baru!" Ucap Gilbert seraya melambaikan tangan kanannya ke arah bangunan di depannya itu, seolah yang di sapa adalah manusia. Bahkan orang yang lewat saja di buat heran karenanya.
Terutama seorang gadis yang berjalan masuk melewatinya. Gadis itu sempat melirik Gilbert dengan tatapan heran yang berkesan dingin.Gilbert yang menyaksikannya melambai pada si Gadis
"Hai!" Sapanya seraya tersenyum lebar semanis mungkin.
Sedangkan yang di sapa langsung mengalihkan pandangan dari Gilbert setelah mengangkat sebelah alis dengan dinginnya.
Gilbert yang menyaksikan gadis itu menjauh hanya berdecak tak peduli. Ia dengan langkahnya yang berkharisma memasuki gedung tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bundar
Teen FictionGilbert, seorang remaja yang sering berbuat onar di sekolahnya. Karena tingkah lakunya yang sering membuat ibu dan ayah nya pusing tak terhingga keliling membuat ia di pindahkan ke rumah kakek dan neneknya di sebuah kota yang jauh dari kota kelahira...