✏️✏️✏️Keadaan sekolah pagi itu seketika sepi setelah bel masuk mengumandangkan suara nan merdu. Namun meski begitu tetap saja ada siswa yang berlalu lalang. Begitupun guru-guru dan para pegawai yang mempunyai tugas tertentu.
Gilbert berjalan santai di belakang seorang wanita paruh baya. Di awal baru bertemu, guru tersebut mengaku bahwa ia lah yang menjabat sebagai wali kelasnya hingga akhir semester empat nanti, yaitu sampai kenaikan kelas.
Penampilan Gilbert tak sekacau saat ia baru menapaki kakinya di sekolah itu. Baju kebesarannya sudah rapi dengan ujungnya yang terselip di balik celana abu-abu. Dasi berlogo 'Tut Wuri Handayani' sudah menggantung indah di lehernya, walau tidak serapi laki-laki yang ia jumpai sewaktu berada di ruangan Bu Ana, ketua kelasnya, demikian tutur Bu Ana. Namanya Yogi.
Bu Ana berhenti di depan sebuah ruangan membuat Gilbert mengira kalau mereka sudah sampai. Bu Ana berbalik menatapnya.
"Kamu siap Gilbert?" tanya sang guru.
"Sudah Bu" ucap Gilbert dengan santai memegang sebelah tali tas yang menggantung di bahu kanannya.
"Ah kau bahkan tidak terlihat gugup" ucap guru tersenyum lalu berbalik memasuki kelas setelah mempersilahkan Gilbert menyusul.
Gilbert mengikuti guru nya itu, bahkan saat sang guru berhenti di tengah-tengah kelas bagian depan ia juga melakukan demikian. Pandangannya seketika berkeliaran di seluruh penjuru kelas. Memandang interior kelas barunya kemudian memandang orang-orang yang berseragam sama sepertinya sedang membalas salam selamat pagi dari sang guru.
"Kalian kedatangan teman baru hari ini. Silahkan perkenalkan namamu nak" ucap sang guru penuh kelembutan.
"Selamat pagi, perkenalkan nama gu-, eh saya Gilbert Aldianto, di panggil Gilbert. Senang bertemu dengan kalian" ucap Gilbert dalam satu tarikan nafas.
Tak sengaja sepasang mata coklat gelap Gilbert menangkap keberadaan Niko dan Simon di sudut ruangan. Simon berada di bangku kedua dari belakang dan Niko berada tepat di depan Simon.
Keduanya nampak melambai-lambai histeris, maksudnya hanya Niko saja, pasalnya Simon hanya tersenyum lebar. Gilbert membalas keduanya dengan menaikkan kedua alisnya seraya tersenyum tipis. Namun aksinya itu malah berefek pada sebagian besar gadis di ruangan itu. Terlihat mereka sedang menahan teriakan dengan cara menggigit buku, jari bahkan menggigit tangan semejanya. Ada juga yang meremas dasi, ujung meja dan ujung roknya. Bahkan tak jarang ada yang menopang dagu sambil tersenyum-senyum. Dan terakhir ada yang hanya melipat tangan dan bersandar di kursinya seraya menatap ke depan dengan pandangan tanpa ekspresi.
"Sepertinya pesonamu menimbulkan efek yang sangat besar ya Gilbert" ucap guru cantik itu. Gilbert hanya membalasnya dengan senyum.
"Baiklah anak-anak sesi tatap-tatapnya sudah selesai, sekarang mari fokus belajar. Gilbert kamu duduk di bangku yang kosong itu" putus sang guru.
"Baik Bu" ucap Gilbert seraya berlalu.
Gilbert duduk di depan Niko. Disamping kirinya seorang pria yang tengah menopang dagu dengan tangan kirinya, sedangkan matanya tertutup rapat. Sepertinya ia tertidur. Namun detik berikutnya ia sudah tersentak bangun mendapat lemparan sebuah penghapus karet yang lumayan besar dari arah belakang, tepatnya dari Simon. Ia buru-buru menggelengkan kepalanya kemudian menatap ke arah Simon yang berpura-pura sibuk dengan buku di hadapannya .
Detik berikutnya lelaki itu tersadar bahwa di samping terdapat seorang pria berkulit putih. Ia ragu antara ia bermimpi atau tidak. Tangan Gilbert terulur kepada laki-laki di sampingnya itu.
"Kenalin gue Gilbert, anak baru" ucap Gilbert seraya tersenyum.
Laki-laki itupun menyambut uluran tangan besar itu.
"Aku Ari" ucapnya.
"Semoga tahan di duduk di sampingnya ya bro" bisik Niko dari belakang kepada Gilbert, namun tetap saja Ari mendengarnya. Sehingga ia langsung melontarkan pelototan tajam kepada Niko yang disambut dengan kikikan.
Gilbert mengalihkan perhatiannya kepada sang guru yang telah memulai pembelajaran. Terlihat seisi kelas sangat antusias mendengarnya. Gilbert dapat menebak jika wali kelasnya itu adalah guru yang lemah lembut dan diminati siswa-siswi. Cara ia berbicara serta gerak-gerik tubuhnya mampu membuktikan pendapatnya itu pada sang guru.
Gilbert nampaknya masih belum puas menyapu pandangan pada seisi ruangan. Bola mata itu kembali bergerak meneliti setiap siswa-siswi di ruangan itu. Hingga pandangannya terkunci pada seorang gadis yang berada tepat di samping kanannya. Dipandangnya wajah gadis itu lamat-lamat.
Setelah beberapa detik, Gilbert teringat saat ia menyapa seorang siswi saat di gerbang. Seorang siswi pertama yang berhasil memecahkan rekor dalam hidup Gilbert tidak menyambut sapaannya. Bahkan gadis itu terlihat cuek saat Gilbert menyapanya, yang mana belum pernah ia di perlakukan demikian sepanjang perjalanan hidupnya.
Diperhatikannya lagi wajah tanpa ekspresi itu. Gadis itu terlihat sama dengan gadis yang di jumpainya saat di jalan raya ketika menunggu kakeknya menjemput. Ah sepertinya Gilbert tak salah tebak. Dia adalah gadis yang sama.
"Awas nanti suka, jadinya sakit hati" bisik Niko dari belakang membuat Gilbert tersentak kaget hingga pulpen yang sedari tadi ia pegang jatuh ke lantai, kemudian menggelinding ke bawah kursi gadis di sampingnya yang sedari tadi ia perhatikan.
"Mampus" gumam Niko. Sedangkan Gilbert hanya mendengus.
Ia menatap sekilas ke arah gadis itu, kemudian beralih ke pulpennya yang tergeletak tepat di bawah kursi si gadis. Tidak mungkin ia mengambilnya, gadis itu akan mengira ia melakukan yang tidak-tidak.
Tak perlu berpikir panjang Gilbert memanggil gadis itu.
"Pist, hei" ucapnya pelan seraya melambaikan tangan di depan wajah.
Merasa seseorang memanggilnya, gadis itu menatap ke arah kiri. Mata keduanya bertemu. Gilbert mematung di tempatnya, kepalanya bergerak miring ke arah kiri dan terus menatap sepasang mata di seberangnya dengan dahi yang berkerut tipis.
Sedangkan yang di tatap terlihat heran. Alisnya terangkat sebelah, namun ekspresinya masih sama, rata. Ia semakin heran menatap Gilbert yang tak kunjung angkat bicara.
Detik berikutnya Gilbert tersadar. Segera ia mengembalikan ekspresinya. Tangannya menunjuk ke arah dimana pulpennya terletak. Gadis itupun mengikuti arah jari Gilbert terulur.
Dilihatnya pulpen itu, kemudian membungkuk hingga rambut panjangnya yang terurai ikut terjatuh menjuntai ke depan. Setelah mendapatkan pulpen itu ia kembali menarik diri, poninya yang sedikit panjang membuat matanya terhalangi. Di selipkannya rambut itu dengan gerakan cepat dan asal, kemudian tangannya terulur memberi pulpen itu kepada sang pemilik.
Lagi dan lagi Gilbert membisu dan membeku. Ia menatap lurus gadis itu. Tak sadar bahwa tangan gadis itu sudah mulai keram akibat terulur terlalu lama. Karena kesal gadis itu memajukan badannya dan meletakkan pulpen itu ke atas meja Gilbert dengan bunyi yang sedikit keras membuat Gilbert tersadar.
"Thanks" ucap Gilbert tanpa berjawab dari si gadis yang sudah serius dengan aktivitasnya.
***
Royentihope
23.04.20
KAMU SEDANG MEMBACA
Bundar
Teen FictionGilbert, seorang remaja yang sering berbuat onar di sekolahnya. Karena tingkah lakunya yang sering membuat ibu dan ayah nya pusing tak terhingga keliling membuat ia di pindahkan ke rumah kakek dan neneknya di sebuah kota yang jauh dari kota kelahira...