✏️✏️✏️Tangan kanan pria itu nampak sesekali mengetuk-ngetuk pulpen di tangan kanannya di atas permukaan mejanya. Sedangkan seseorang di sampingnya yang menjabat sebagai teman semejanya nampak tak peduli. Ia bahkan masih berada di dunia lain bernama mimpi. Menghiraukan kicauan guru di hadapan sebuah papan tulis.
Ketukan itu semakin kuat, lantas pelaku sesekali melirik jam yang menggantung di depan ruangan. Tepat di atas papan tulis, juga di atas guru yang tengah mengajar.
Semakin kuat, sehingga gadis yang berada di samping kanannya sudah melirik Gilbert tajam.
Merasa tidak ada perubahan, gadis itu berdehem sekali. Tepat setelahnya Gilbert menatapnya. Gilbert mengangkat sebelah alisnya pada si gadis. Vaneshya. Kesal karena tidak peka. Vaneshya kembali mengalihkan perhatian pada guru.
Gilbert kemudian tersadar akan kelakuannya lantas merubah strategi. Pulpen itu tengah di putar-putarnya dengan jari tangan kanan.
Di liriknya lagi jam dinding itu. Padahal di tangan kirinya melingkar sebuah jam tangan hitam. Lima menit lagi pikirnya. Jam istirahat akan berbunyi lima menit lagi.
Perutnya bahkan belum meminta di isi kembali. Namun misi pencaharian itulah yang membuatnya tak sabar menunggu bel indah itu bersuara.
Akhirnya saat yang di nantikan Gilbert tiba. Segera ia berbalik badan menghadap Niko dan Simon yang berada di belakang tubuhnya bahkan guru belum beranjak dari kelasnya.
"Jadi kan?" tanya nya penuh minat. Setelahnya guru itupun beranjak setelah mengucap salam. Sedangkan teman-temannya sudah beranjak dari bangkunya, juga Vaneshya, sudah menyanggah kepala dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja. Sebuah buku ia letakkan terbuka di atas kepala untuk menutupi kepala walau hasilnya tidak memuaskan.
"Apanya?" tanya Niko tak mengerti.
"Itu lho yang bantuin gue nyari si Vanya." Gilbert menaikkan nada suara. Berhubung kelas sudah mulai lenggang.
Detik berikutnya Vaneshya, langsung mengangkat kepala hingga buku itu terjatuh ke dasar lantai.
Seketika tatapan Gilbert dan ketiganya sudah beralih menatap Vaneshya. Sedangkan objek yang di tatap terlihat salah tingkah namun tetap terlihat santai sambil memungut bukunya. Kemudian tangannya terulur ke dalam laci meja untuk mengambil handphone beserta earphone. Kemudian kembali ke posisi semula sesudah menyumpal kedua telinganya. Gilbert dan ketiga temannya itupun juga beralih.
"Elah ngak sabaran banget. Kapan-kapan kan bisa sih Bet"Ari memberi saran.
"Ayo dong. Gak sabar gue." Gilbert bersikeras.
"Ah mesti titip absen nih ke kantin" ucap Ari lagi.
"Yaudah ayok" memang Simonlah yang terbaik. Ia sudah berdiri dan berjalan.
"Ayok cepat" paksanya.
Ketiganya lantas keluar bersama meninggalkan Vaneshya dan beberapa siswi di dalamnya yang tengah asik memakan bekal.
Sepanjang lorong yang mereka lalui, mereka tak lepas dari pasangan mata yang terang-terangan memandang mereka. Bagaimana tidak? Mari kita telusuri satu persatu.
Mulai dari Ari. Wajahnya yang diatas rata-rata itu adalah ketua ekstrakurikuler karate. Juga menjadi perwakilan sekolah ketika di hadapkan mengikuti pertandingan dan selalu mengharumkan nama sekolah. Satu sekolah bahkan mengenalnya. Namun sikapnya kadang seperti koala. Tidur sepanjang hari di kelas. Bahkan saat ujian baik ujian harian, ujian akhir sekolah, ujian tengah semester, ia bisa tidur. Syukur-syukur ilernya tidak mengenai kertas jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bundar
Teen FictionGilbert, seorang remaja yang sering berbuat onar di sekolahnya. Karena tingkah lakunya yang sering membuat ibu dan ayah nya pusing tak terhingga keliling membuat ia di pindahkan ke rumah kakek dan neneknya di sebuah kota yang jauh dari kota kelahira...