✏️✏️✏️Suara jam dinding yang berdetak seiring pergerakan jarum jam bagian detik menjadi lagu yang menemani Vaneshya belajar. Tenggelam di balik konsentrasi yang mendominasi. Mengiringi setiap bacaan yang tertera pada buku. Bulan sebagai lentera malam menghiasi sekaligus menerangi malam yang setia pada kegelapan mencuri celah memasuki kamar gadis itu lewat pintu jendela yang terbuka lebar. Menembus gorden putih tipis.
Jarum jam sudah menunjuk angka delapan. Namun tak ada niatan bagi gadis itu untuk menyentuh barang sedikitpun sepiring makan malamnya. Bahkan lehernya hanya ia tegakkan sesekali. Masa bodoh dengan rambutnya yang terlihat acak-acakan. Toh tidak ada yang melihat atau di lihatnya.
Vaneshya memukul-mukul pensil ke sisi kepalanya saat sesuatu yang ada pada buku sulit ia mengerti. Seakan-akan otaknya akan terbuka dengan perlakuannya itu.
Namun aktivitasnya seketika terhenti saat handphone yang berada di sudut meja belajarnya bergetar dan menyala. Itu bukan miliknya. Namun ia meraih benda itu untuk melihat sesuatu apa yang sedang handphone itu tunjukkan.
Vaneshya menatap layar benda itu. Sebuah pesan masuk dengan nomor yang sepertinya baru. Ia merasa tidak asing dengan nomor yang tertera pada layar. Hingga tak sadar ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengingat.
Detik berikutnya ia baru tersadar. Nomor itu adalah nomornya. Segera ia buka pesan itu untuk melihat apa yang sudah di kirim si pengirim itu.
082xxxxxxxxx
Hai Gilbert.
Vaneshya mendengus setelah membaca pesan itu. Kemudian tangan kanannya melepas pensil yang sedari tadi terapit di sela-sela jarinya, dan beralih bergerak di atas layar handphone.
Ngapain lo pake hp gue?
Tak butuh waktu lama pesan itu segera berbalas.
Skrang lo jadi gue, gue jadi lo. Jdi jgn ketus2 ngomongnya. Gue gk pernah gitu ya.
Btw lo jga pake hp gue tuh😝
Bodo amat.
Awas aja klo sampe lo apa2 in hp gue.
Gak akan kok. Cuma kepoin isinya doang.
Simpen no lo di hp gue.
Namanya 'Neshya❤️'
Ok?
Vaneshya tak berniat membalas pesan itu, juga melakukan perintah orang di seberang sana. Ia lantas meletakkan benda itu kembali. Tak berniat untuk menelusuri isi benda canggih itu. Menurutnya itu adalah sebuah privasi.
Jika saja ia tidak lupa bahwa handphone yang berada di saku roknya bukan miliknya ia tidak akan membawa pulang benda pipih laki-laki yang menurutnya menyebalkan itu.
Kejadian beberapa jam lalu saat ia terjebak berdua bersama Gilbert di dalam perpustakaan, menemani, ah lebih tepatnya di paksa untuk membantu lelaki itu melaksanakan hukumannya.
Mereka berdua sama-sama di gerogoti rasa lelah dan gerah akibat berkeringat membuat mereka lupa bahwa keduanya tengah memegang benda yang bukan milik mereka. Lebih tepatnya hanya Vaneshya yang lupa. Gilbert saja yang sengaja tidak mengingatkan.Tak bisa di pungkiri Vaneshya juga sedikit penasaran dengan isi handphone itu. Dengan menghilangkan rasa kurang ajarnya, ia kembali meraih handphone itu. Seperti perkataan Gilbert, handphone itu tidak memiliki kode pengaman atau sejenisnya. Membuat Vaneshya leluasa untuk melakukan niatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bundar
Teen FictionGilbert, seorang remaja yang sering berbuat onar di sekolahnya. Karena tingkah lakunya yang sering membuat ibu dan ayah nya pusing tak terhingga keliling membuat ia di pindahkan ke rumah kakek dan neneknya di sebuah kota yang jauh dari kota kelahira...