*Pacar Baru*

74 17 11
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Itu artinya aku harus segera pulang. Aku tak ingin papa dan mama mengomeliku habis-habisan hingga menjelang subuh.

Aku masih mendengarkannya bernyanyi sebagai hukuman untukku. Jika hukumannya hanya ringan seperti ini, aku tak masalah jika harus bermasalah dengan pria ini. Menikmati suaranya yang bisa dikatakan indah serta menatap wajah tampannya yang tak bisa ku pungkiri .

Sebenarnya aku masih penasaran dengan pria ini. Bagaimana bisa ia langsung mengklaim seseorang sebagai pekerjanya tanpa mengetahui sifat seseorang itu. Bisa saja bukan, aku berniat jahat ingin membunuhnya sekarang juga.?

Apa dia selalu seperti ini dengan orang lain?

Mempercayakannya hanya dengan satu kai tatap?

Seperti aku contohnya.

"Gibran.", panggilku saat dia telah menyelesaikan lagu yang dinyanyikannya.

Dia menoleh sambil mengangkat sebelah alisnya tanda jawabannya.

"Lo kok bisa sih dengan gampangnya memercayakan gue sebagai pekerja lo?",

"Kenapa lo nanya kaya gitu?",

"Ya gapapa sih. Cuma ya, bisa ajakan gue punya maksud jahat sama lo?", 

"Emang lo berani macem-macem sama gue?",

Mendengar itu aku langsung memelototinya. Tanda bahwa aku sama sekali tak takut dengannya.

"Kenapa gue harus gak berani? Berani dong. Emang lo siapa yang harus gue takuti.", Ujarku memasang tampang sinis ke arahnya.

Perlahan, tubuhnya mendekat ke arahku. Mengunci jarak di antara kami. Mambuatku menahan napas tanda bahwa aku gugup berada dengannya dengan jarak yang sedekat ini.

"Maa-uu aa-pa l-o", Tanyaku gugup.

Dia hanya menampilkan senyuman liciknya. Lalu segera memberi ruang diantara kami yang sebelumnya tak berjarak.

"Gitu aja lo takut. Pake mau ancem gue segala.",

Tak terima dengan perkataanya, sontak tanganku langsung menjambak kasar rambutnya.

"Dasar mesum! Apa ha! Lo pikir gue takut! Mampus lo!", 

Aku tak melepas jambakanku, sampai pada akhirnya, Tanganya mulai mencekik kuat leherku, yang membuat jambakan itu terlepas dengan sendirinya.

Dia memandangku tajam. Membuat ku sedikit takut. hembusan nafasnya terdengar seperti sedang menahan emosi.

"Gak usah macem-macem. Atau lo mati saat ini juga.!", 

Dia semakin memperkuatnya, membuatku sesak seperti kehilangan nafas. 

Leherku benar-benar dicekik dengan ganasnya.

Mataku mulai berlinang. Merasakan sakit yang teramat perih.

Perlahan, Pria itu melepaskan tangannya dari leherku. Membuatku memandangnya dengan murka. Nafasku tersengal-sengal. 

"Biadab! Gue berhenti! Gue gak bisa kerja sama lo. Belum ada satu hari lo buat gue hampir mati. Gak punya otak lo!",

"Lo gak akan bisa berhenti, sebelum gue yang ngeberhentiin lo!", 

"GUE GAK PEDULI!",

Setelah mengatakan itu, aku beranjak pergi meninggalkannya. 

Aku menangis. Air mata ini turun dengan sendirinya.

Namun, saat aku berjalan keluar, mataku menangkap seseorang yang tak asing dari pandanganku. Berdiri dengan menyenderkan seluruh tubuhnya ke dinding sambil tersenyum ke arahku. Membuatku terkejut skektika.

GibranalineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang