Prolog

10K 556 19
                                    

Beri jejak jika bertemu TYPO.

Happy reading ^^

.
.
.
.
.

Kami saling menolak. Menampik perjodohan itu. Aku dan dia tak ingin nantinya kisah kami seperti jutaan atau milyaran pasangan lainnya yang menikah atas nama perjodohan bukan ketulusan. Yah, yang pada akhirnya mereka mampu saling mencintai, namun tak sedikit yang berpisah dan memilih jodoh sendiri.

Kami sungguh menolak, karena tak ingin kemungkinan buruk yang terakhir itu terjadi. Meski kami sudah saling mengenal, dan aku pribadi memiliki rasa pada pria tampan itu, ketakutanku lah yang membuat kami untuk tak memaksakan diri menuruti kehendak orang tua.

Kami tahu, menikah bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Mungkin kebanyakan orang dewasa akan menyebut kami tidak mau berpikir maju. Mudah saja sebenarnya. Aku dan dia hanya perlu berpikir bahwa kami ditakdirkan bersama. Namun jika pada akhirnya kami berdua menjadi air dan minyak dalam rumah tangga, itu bukan masalah kecil, bukan?

Sasuke-kun, aku memanggil namanya. Satu minggu yang lalu, kami baru saja selesai menjalani ujian kelulusan sekolah menengah atas kami. Juga semenjak satu minggu itulah, kami bersiap untuk menjalani tes masuk ke perguruan tinggi. Jangan berpikir, kami sering bersama. Tidak. Tidak begitu.

Sebagai informasi, kedua keluarga kami memang sering berunding bagaikan melakukan sidang besar untuk merencanakan perjodohan kami. Mereka benar-benar melakukan pembicaraan yang serius kadang-kadang. Sedikit banyak itu mengganggu konsentrasi kami.

Contohnya saja, mulai dari berpura-pura membuat janji makan malam bersama. Karena kesibukan sekolah, aku dan laki-laki itu jarang pulang tepat waktu. Kami juga jarang pulang bersama. Lalu kedua keluarga kami, berpura-pura mengirim pesan pada masing-masing untuk datang ke suatu tempat guna makan malam bersama. Kemudian ketika kami sama-sama sampai di tempat tujuan, kami saling menatap dan akhirnya mendecih kesal. Kau tahu mengapa? Tak ada satu pun anggota keluarga kami yang datang ke sana.

Pernah pula ketika kami wisuda saat masih sekolah menengah pertama, sebuah kejadian yang memalukan. Ayah dan ibu kami sama-sama memakai pakaian yang sama. Lalu menyebar kata dengan mengaku bahwa mereka tak sengaja, dan mungkin mereka adalah keluarga yang dijodohkan. Pada ujungnya, mereka akan menyebutkan bahwa aku dan Sasuke-kun sepertinya berjodoh. Kadang aku merasa kesal dengan pemikiran mereka.

Saat ini, kami kembali termakan jebakan orang tua kami. Bibi Mikoto, ibu dari Sasuke-kun, mengeluh sakit kepala yang luar biasa, sehingga meminta putra bungsunya pergi ke apotek yang sama. Ayahku mengeluh dadanya sakit, dan aku pun harus ke apotek juga. Skenario Tuhan sepertinya selalu mendukung orang tua kami. Aku dan Sasuke-kun masuk ke dalam apotek secara bersamaan. Bedanya, aku benar-benar cemas, sedangkan lelaki itu hanya memasang wajah datarnya, seperti biasa.

"Tertipu lagi?" tanyanya, mengawali pembicaraan kami ketika pulang bersama. Ini memang momen yang jarang sekali, semenjak kami masuk sekolah menengah atas.

"Begitulah. Jika menyangkut kesehatan mereka berdua, itu sudah seperti kartu as mereka untuk menipuku," jawabku dengan nada lesu.

"Sudah memastikannya?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk pelan. "Dengan perasaanku."

"Hn," jargon lelaki ini keluar menyahutiku.

Langkah kami terus maju. Malam yang hening ini membuat kami semakin canggung. Aku merasa sedikit tenang dari malam biasanya, karena ada seseorang yang menemaniku pulang. Rumah kami berdekatan. Hanya berjarak dua rumah. Dengan kata lain, kami adalah tetangga.

Ada strata sosial di antara aku dan Sasuke-kun. Ia anak orang kaya. Kekayaan keluarganya mungkin melebihi batas wajar untuk seorang petinggi negara. Mereka bukan keluarga perdana menteri atau presiden. Mereka keluarga pengusaha, yang sukses mendirikan berbagai macam usaha besar di kota-kota besar Jepang. Aku lupa namanya, yang jelas mereka juga memiliki usaha konstruksi bangunan dan jembatan, yang sudah dipercaya pemerintah kualitasnya.

Jika membicarakanku, aku memang keluarga orang berada. Namun tak terlalu megah seperti halnya dia. Orang tuaku memiliki satu perusahaan yang bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran. Aku sesekali datang ke kantor dan mengikuti beberapa pelatihan.

"Sasuke-kun sendiri sudah memastikannya?" tanyaku kemudian. "Maksudku ... apa Bibi Mikoto benar-benar sakit?"

"Hn. Itachi justru bertanya padaku apa aku bertemu denganmu. Aku mendengar tawa wanita itu ketika kami sedang bicara di telepon," jawabnya. Aku tertawa mendengar jawaban itu.

Dia mengucapkan lebih dari sekadar jargon khasnya bukan? Seperti inilah Sasuke-kun. Lelaki dingin yang selalu menunjukkan sifat kakunya pada siapapun. Kadang-kadang, sifat dinginnya tak berlaku padaku. Maksudku, ucapan dingin dan singkatnya.

"Sakura," panggilnya tiba-tiba.

"Hm?"

"Larilah. Sesuatu menunggumu."

Aku mengernyitkan keningku ketika ia berucap tentang sesuatu yang tak kupahami. Pandangannya lurus ke depan. Aku pikir ia tidak sedang takut terhadap hantu. Aku mengikuti arah pandangnya. Tak lama, sebuah mobil ambulan melintas di samping kami. Sambil terus berjalan, dari kejauhan aku mendapati seperti beberapa orang tengah berkumpul.

Sedikit tersentak ketika Sasuke-kun tiba-tiba menyentuh bahuku. Aku menoleh ke arahnya, menghentikan langkah. Ia menatapku dalam. Tiba-tiba saja, perasaanku memburuk. Hitungan ketiga usai ia menatapku, aku berlari. Terus berlari ke depan mengikuti jalan untuk segera mencapai kerumunan itu. Meninggalkan Sasuke-kun sendirian di belakangku. []

.
.
.

Bersambung ....

.
.
.

Judul : UNMEI
Genre : romance, drama.
Story by : Kaze Natsu
Fandom : Naruto
Rating : T+
Pairing : Sasuke × Sakura and others
Disclaimer © Masashi Kishimoto

Note : Sengaja bagian prolog dari sudut pandang Haruno Sakura.

Salam rindu,

Kaze Natsu

U N M E I [SasuSaku] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang