Pukul enam tiga puluh pagi. Hari ini adalah Jum'at. Siapa yang mengira aku benar-benar menikahi gadis itu. Bagaimana aku mengatakannya? Pokoknya, aku bahagia dia masih mencintaiku sampai saat ini.
Kakak sialanku ini sedang memakaikanku Montsuki Haori Hakama, sebuah pakaian tradisional untuk laki-laki di Jepang. Ya, hari ini aku—lebih tepatnya keluargaku yang memutuskan adatnya—menjalani prosesi pernikahan di kuil Shinto. Besok baru akan mengisi registrasi pernikahanku dengan Sakura. Mungkin bisa tertunda lagi. Terserah mereka saja, yang penting aku harus menikah hari ini. Berkat kepekaan kakakku Itachi, yang terlalu super, aku bisa memamerkan sesuatu untuk seseorang. Mungkin untuk beberapa orang juga.
"Jadi, bocah nakal itu pulang hari ini?" tanyaku pada Itachi.
"Aa. Mereka sudah di bandara. Sudah ada pelayan kita yang menjemputnya dan meminta bersiap untuk datang ke sini," jawab kakakku itu.
Itachi mulai merapikan pakaianku setelah semuanya terpasang. "Kau yakin tak dipecat dari profesimu?" tanyanya, dengan nada ejekan yang terdengar jelas di telingaku.
"Sial! Aku lupa aku seorang dokter."
Sungguh, aku benar-benar lupa. Saat kuperpanjang masa cuti hari itu, sepertinya kurang seminggu lagi untuk selesai cutiku. Itachi hanya menghela napas mendengar jawabanku. Tapi tiba-tiba dia menyentil keningku cukup keras. Sakit, bodoh! Tak lama, aku dipanggil, diminta untuk segera berangkat ke kuil.
Di depan ruanganku, Sakura berdiri dengan kimono putih lengkapnya. Tsuni Kakushi menutupi kepala merah muda gadis ini. Mungkin jika aku bukan lahir dari keluarga Uchiha, bisa saja aku sudah menunjukkan tingkah kelebihan dopamin hari ini. Aku berani bersumpah, hanya dengan melihat siluet Sakura berdiri sekarang, benar-benar bisa meningkatkan hormon bahagiaku itu.
"Oh my! Kami-sama! Bidadari ini benar-benar pulang!!" teriak seseorang dari arah kanan tempat keberadaanku dan Sakura.
Kami menoleh. Lihatlah perempuan yang kurasa semakin nyentrik sejak sebulan lalu kulihat. Ia berjalan mendekatiku dan Sakura. Oh, monster kecil berwajah jiplakan Itachi itu mengenakan kimono bermotif Plum, sedang memegangi kacamata hitamnya dan berjalan santai mengikuti ibunya. Jangan lupakan satu bocah lagi yang mengenakan kimono hitam berjalan di belakang monster itu.
"Izumi ... Nee-san?" gumam Sakura seperti ragu.
"Yohoo! Benar sekali! Kau benar-benar Sakura, 'kan? Sepertinya kau akan berhutang banyak cerita padaku? Hmm?" tanya wanita itu.
"Hai, Sayang!" Itachi datang menghampiri kami, keluar dari ruanganku tadi.
Kakakku itu berpelukan dengan istrinya dengan begitu mesra. Cium pipi kanan pipi kiri, kemudian mengecup kening Izumi lama sekali. Kulihat, Sakura mulai berinteraksi dengan si bocah perempuan ini. Sedang si bocah laki-laki memandangku begitu instens. Baiklah aku tak peduli.
"Sawadee kha, Sakura Onee-chan!" sapa bocah itu, Uchiha Ichika. Mencoba mengucap salam dengan bahasa Thailand.
Nama kecilnya ditulis dengan kanji satu dan bunga atau mekar. Sesuai dengan kepribadiannya, dia gadis kecil lima tahun yang cantik dan aktif. Ada satu hal yang wajib ada di rambut cokelat terangnya, sebuah jepit rambut berbentuk bunga dari tumbuhan Ume alias Prunus Mume, bunga Plum. Benda hias untuk anak kecil perempuan itu tak pernah absen dari kepalanya sejak dia berusia dua tahun. Gadis kecil itu melepas kacamata hitamnya, sepertinya ingin melihat Sakura lebih jelas.
"Uchiha Ichirou desu. Yoroshiku, Sakura ba-chan. Tidak. Kau lebih pantas disebut kakak?" si bocah laki-laki ini menunduk hormat. Sakura balas membungkuk sedikit. Dia kemudian tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
U N M E I [SasuSaku] ✔
Fiksi Penggemar[SELESAI] Sakura pernah hampir membenci takdir serta dirinya sendiri, ketika dia harus terlibat dalam tali masa lalu yang ia bentangkan sendiri. Membuatnya terjerat lagi dalam sepenggal kehidupan lama yang belasan tahun dia sisihkan demi ketenangan...