"Assalamualaikum," ucap Dewa memberi salam ketika kakinya melangkah melewati pintu rumah.
Cowok itu sedikit bingung karena tak ada yang menjawab salamnya. Biasanya Bunda langsung menjawab dan menyambutnya. Dewa membawa langkahnya semakin masuk.
"Bunda kan udah bilang jangan berantem!"
"Berasa jadi jagoan, kamu?!"
"Kalau udah bonyok gini siapa yang ngerasain sakit kamu sendiri, kan?"
"Ini juga sama aja, bisa nggak sih sehari aja kalian berdua itu nggak ribut terus. Pusing Bunda liatnya."
Dewa berdiri di samping lemari yang menjadi sekat antara ruang depan dan tengah. Anak itu melihat bagaimana Bunda sedang mengomel sambil mengobati Andaru dan Biyu yang hanya duduk diam dan sangat penurut dengan titah Bunda. Dewa ikut meringis saat Bunda menekan luka di wajah keduanya.
Pasti, perih.
Cowok itu mendekat meski sedikit canggung karena akhir-akhir ini hubungannya dengan Andaru sedikit renggang. Dewa juga tidak tahu apa penyebab Andaru sedikit menjauhinya. Semenjak di rumah sakit waktu itu kakaknya sedikit berbeda. Dewa kadang sampai bingung ingin memulai pembicaraan dari mana.
"Bunda."
Bunda menoleh kala suara lembut dari bungsunya menggelitik liang telinga.
Perempuan setengah baya itu tersenyum lalu mengayunkan tangannya menyuruh Dewa mendekat.
"Sini, Sayang." Dewa melihat Andaru yang langsung membuang muka. Sedangkan Biyu menatapnya datar seperti biasa. Perasaannya sakit saat diabaikan oleh kakaknya seperti ini. Biasanya Andaru tidak pernah marah padanya. Tapi, kali ini apakah tidak bisa bersikap seperti biasa saja. Dewa sedikit memberikan senyum pada Biyu. Namun, tak di balas oleh cowok itu.
Bunda bersuara saat Dewa sudah duduk di sampingnya. "Kamu dari mana aja kok baru pulang?"
"Habis mancing di danau sama Judha dan Pesona." Bunda tersenyum, tangannya mengelus lembut rambut Dewa.
"Capek?"
"Sedikit."
"Jangan capek-capek, ya." Dewa mengangguk.
"Ya sudah sana mandi lalu makan."
"Dewa sudah makan, Bun. Nanti malem aja makan lagi."
"Oh, ya sudah kalau begitu bersih-bersih sana kamu bau asem!" goda Bunda sambil menutup hidungnya.
Dewa pamit menuju kamarnya untuk bersih-bersih dan mengistirahatkan tubuh lelahnya.
"Heh! Aa, kamu denger Bunda ngomong nggak, sih!?" tanya Bunda kembali murka saat melihat anak sulungnya hanya acuh.
"Kamu juga Mas, dengerin Bunda."
Sama Dewa alus bener, giliran sama gue galak! Batin Andaru berteriak kesal.
"Andaru! Abimanyu!"
"Iya Bunda denger, kok. Aa kelepasan. Habis, ini orang ngeselin wajahnya tonjokable banget," balas Andaru kesal.
"Aku nggak bakal mukul kalau bukan dia yang mulai," kata Abimanyu membela diri.
"Kalian itu saudara. Nggak baik kalau sesama saudara saling berantem. Coba kalau lagi susah dan nggak ada teman yang nolongin siapa yang mau nolong kalau bukan saudara!" seru Bunda berang. Ia sudah capek mengurusi mereka yang selalu pegang dari dulu dan tidak pernah ada habisnya.
Ya, dan kalimat itulah yang selalu bunda ucap ketika tau Andaru dan Biyu bertengkar.
Salahkan Biyu yang selalu mengusiknya terlebih dulu. Andaru tidak akan maju kalau sesuatu yang berharga dalam hidupnya tidak diganggu ataupun disentuh oleh Biyu. Maka, jangan salahkan Andaru kalau dirinya lebih kejam dalam membalas Biyu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bother
Novela JuvenilDewa bahkan tidak pernah meminta apapun pada Tuhan. Bahkan ketika ia di tuding sebagai pembunuh ia hanya diam. Ketika di bully dia hanya diam. Ketika dunia tak menginginkan dirinya ada dia juga diam. Tapi, untuk yang satu ini bolehkah dia egois. Bo...