Bother; 10

2.5K 247 30
                                    


Dewa tidak tau dia harus merasa sedih atau senang dengan perlakuan sang kakak. Jujur dia sedikit risih dengan Andaru sejak mereka baikan malam itu. Sang kakak jadi sedikit manis dan sangat protektif. Menyebalkan, bukan.

Seperti yang dilakukannya saat ini. Tadi, setelah bel istirahat berdering Andaru langsung menyeret adiknya ke kantin. Bahkan Judha yang masih membereskan perlengkapannya di tinggalkan begitu saja.

"Kamu mau makan apa?" tanya Andaru begitu mereka telah sampai di kantin. Dewa tengah berfikir. Dia pengen bakso tapi pengen mie ayam juga, ah nasi goreng, kwetiaw, salad buah, es doger semuanya. Jadi bingung.

"Mie ayam bakso, boleh?" Andaru mengangguk dan berjalan menuju stand Mbak Ai memesankan makanan untuk Dewa. Sepuluh menit kemudian Andaru datang dengan dua mangkok makanan dan dua botol air mineral.

"Yakin bakalan abis." Dewa mengangguk dan menatap makanan di depannya penuh dengan binar. Lidahnya sudah tidak sabar.

Dewa melirik mangkok sambal sambil melirik Andaru. Begitu cowok itu lengah Dewa langsung memasukkan lima sendok sambal ke dalam mie ayam baksonya. Cowok itu langsung menyantapnya begitu selesai membumbui makanannya. Sebisa mungkin ia menahan pedas yang merambat dalam mulutnya dan rasa panas yang menyerang perutnya.

"A pengen salad buah." Andaru yang ingin melahap baksonya menjadi urung dan beranjak menuju stand salad. Sebenarnya Dewa sudah kenyang tapi salad buah sepertinya bisa menetralkan rasa pedasnya walau sedikit. Supaya Andaru tidak curiga juga tentunya. Kalau sampai Andaru tau bisa habis dia dimarahi.

"Nih," Dewa nyengir, Andaru mengacak pelan rambut dewa, gemas. "tumben makan banyak banget?" lanjut Andaru kembali duduk dan melanjutkan makannya.

"Nggak tau, pengen aja." Dewa menjawab sekenanya.

Ngomong-ngomong ketiga teman Dewa saat ini tengah duduk di bangku biasa, tempat mereka makan saat di kantin. Tak berani menghampiri Dewa dan Andaru. Entahlah mereka merasa Andaru jadi lebih galak dan sensitif sekarang, apalagi jika menyangkut Dewa. Bahkan Andaru pernah bilang kalau dia sedang berdua dengan Dewa tidak boleh ada yang mengganggunya.

"Apa cuma gue yang kangen sama, Dewa." Pesona menatap Jhewa dan Judha secara bergantian, bibirnya di manyunkan dengan tangan memainkan sedotan.

"Gue juga kali, Na." Judha menyahut.

"Lagian Kak Andaru kenapa sih kok akhir-akhir ini jadi makin protektif banget sama Dewa."

Judha mengangkat bahu, pertanda ia juga tidak tau.

"Namanya juga abang pasti pengen deket-deket sama adiknya terus lah," seloroh Jhewa. Sebenarnya sedari tadi gadis itu tengah memperhatikan gerak gerik seseorang yang menurutnya, aneh. Cowok itu sedari tadi selalu menatap kearah Andaru dan Dewa apalagi kilat matanya yang terlihat tidak bisa biasa saja. Seperti ada kebencian, amarah dan juga dendam yang bergerumnul di sana.

"Jhe lo liatin apa sih, serius banget?" Jhewa tersentak. Gadis itu menggeleng dan melahap nasi gorengnya kembali.

Aneh.

"HELLOW EPRIBODIH!" Pesona langsung tersedak kuah soto yang ia makan saat suara Wawan menggema dan menggetarkan liang telinganya.

"Halo ayang mbeb aku kangen deh sama kamu." Judha masih mencoba abai dan memilih bermain game di ponselnya walaupun sejujurnya ia sudah ingin tertawa sekarang. Sedangkan Jhewa gadis itu sudah tertawa dan sesekali menggoda Wawan.

"Loh Tekwan dari mana aja kok baru keliatan?" kata Jhewa.

"Iya nih Man, kemarin pangen Wawan sedang berkembara di negri sebrang mencari pujaan hati yang tulus untuk melupakan putri Nana, tapi tidak bisa. Ternyata cuma Nana yang ada di hati." Wawan menjawab dengan raut alaynya. Kata Man yang Wawan ucapkan itu berasal dari kependekan Preman. Ya, karena penampilan Jhewa yang urakan Wawan akhirnya memanggilnya preman. Toh, Jhewa juga memanggilnya dengan sebutan Tekwan.

"Eaaaaa gas teros, Wan." Kini Judha juga ikut menggodanya.

"Kenapa sih Na jutek banget kalau sama aku."

"Emang lo siapa?"

"Calon suami kamu, duh ya ampun masih aja nanya. Lupa? atau pura-pura lupa, hmmm." Wawan menggoga Pesona.

"Najis!"

"Makasih, aku emang ganteng."

"Apaan sih nggak nyambung goblok."

Tak lagi menghiraukan perdebatan mereka Jhewa kembali beralih menuju laki-laki yang sedari tadi ia curigai.

"Dia siapa, sih?" Akhirnya pertanyaan yang sedari tersimpan di kepala ia keluarkan juga.

"Siapa?" Judha menjawabnya dengan tawa, lalu menoleh menuju titik pandang Jhewa. Judha mengernyitkan alisnya kemudian merotasikan bola matanya malas.

"Aneh."

"Kak Abi," gumam Pesona.

"Horor banget itu orang wajahnya." sahut Wawan.

"Pantesan dari kemarin Kak Andaru protektif banget sama Dewa." Pesona berucap dengan desir aneh.

Abimanyu, setelah sekian lama cowok itu menghilang kini ia kembali lagi.

"Emangnya dia siapa, sih?" tanya Jhewa mulai penasaran dengan sosok itu.

"Saudara." Judha merasa sedikit takut dengan kehadiran Abimanyu. Apalagi saat Dewa bilang mereka tinggal bersama.

"Kalian berdua kenapa sih. Kok jadi aneh gitu setelah liat tuh cowok." Pesona dan Judha saling lirik lalu menggeleng pelan.

"Nggak pa-pa," jawab mereka kompak.

"Heh, gue dari tadi di sini dan kalian nganggep gue nggak ada. Pangeran nggak bisa diginiin."

"Bacot!" seru ketiganya lalu beranjak pergi meninggalkan Wawan.

Rasanya ada yang terbakar dalam diri Biyu saat melihat bagaimana kedekatan yang Andaru dan Dewa perlihatkan. Ada setitik rasa tak suka serta kebencian yang membara. Ia benci melihat Dewa bahagia. Dia tidak suka melihat orang yang telah menghancurkan hidupnya terlihat baik-baik saja sedangkan dirinya memendam banyak luka.

Andai saja kecelakaan itu tak terjadi Bening pasti masih di sini sekarang.

Biyu masih terus memandang ke depan, bahkan saat merasakan ada seseorang yang duduk di sampingnya. Dari bah parfumnya yang menguar Biyu tau siapa sosok yang kini berada di dekatnya.

"Lo nggak ke kelas?" Biyu melirik sekilas.

"Nggak usah sok peduli."

"Di peduliin marah. Nggak di peduliin merasa jadi orang yang paling kesepian dan menyedihkan di dunia. Situ waras?" Andaru berkata mengejek. Mau selesai apapun ia dengan Biyu mereka tetaplah saudara.

Biyu langsung menoleh dengan tatap tajam yang mematikan.

"Ngajak gelut lagi, lo!?"

"Tolong deh Bi, sehari aja kita Damai bisa nggak. Capek gue gelut mulu."

Biyu melempar pandang pada dedaunan hijau yang tertanam di taman belakang sekolah.

Tangan Andaru terangkat dan mendarat di pundak Biyu.

"Bi, mau sejahat apapun lo ke gue dan Dewa, nyatanya kita adalah saudara dan gue nggak bisa bener-bener benci sama lo. Mungkin cuma kesel itupun bentar doang. Coba deh belajar mengekspresikan apa yang lo rasain. Lo bisa cerita ke gue. Lo bisa lampiasin ke hal yang nggak merugikan lo dan orang lain. Jangan sok kuat karena nyimpen semuanya sendirian." Andaru menepuk-nepuk pelan pundak Biyu. Cowok itu tak bereaksi sama sekali.

"Gue nitip Dewa." Biyu mengernyit.

"Emang lo mau kemana?"

"Pergi."

"Ya pergi kemana?"

Andaru hanya tersenyum lalu kemudian melenggang pergi.

"Aneh."

Thanks for reading.

BotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang