*Bother; 4*

4.3K 342 84
                                    

Siang itu lapangan sekolah tampak ramai. Dua rombongan dari kelas yang berbeda memasuki lapangan secara bersamaan. 11 IPA 1 dan 10 IPA 3 kelas Biyu dan Dewa.

Entah ini kesialan semata atau memang sudah garis Tuhan begini adanya. Bu Astuti guru olahraga kelas 11 tengah ijin tidak masuk karena melahirkan. Jadilah jam pelajaran di kelas mereka digabungkan menjadi satu.

Di tempatnya berdiri Dewa bergerak gusar. Dari sekian puluh orang yang hadir di lapangan dan sudah membentuk tiga barisan bersaf hanya Dewa yang masih mengenakan seragam biasa. Ia lupa membawa seragam olahraganya padahal tadi pagi sudah ia siapkan di atas meja belajar.

Pak Anjas memasuki lapangan dengan wajah meneliti. Matanya langsung tertuju pada Dewa yang memakai baju beda sendiri.

Dewa menggigit bibir bawahnya semakin takut dengan tatapan garang yang Pak Anjas layangkan.

"Jatayu Sadewa." Suara berat dari Pak Anjas menggema. Tidak ada yang berani mengangkat kepala atau memandang ke arahnya selain Dewa, sosok yang tadi Pak Anjas panggil namanya.

"Iya, Pak." Dewa menjawab dengan tangan saling meremat. Jantungnya sudah berdebar tak karuan.

"Kenapa tidak memakai seragam olahraga?"

"Maaf Pak saya lupa tidak membawanya."

Pak Anjas paling tidak suka dengan murid yang tidak disiplin. Bahkan, hanya telat sepuluh detik saja saat pelajaran beliau tengah berlangsung, bisa dipastikan jika nilai olahraga tidak akan keluar.

"Lari keliling lapangan dua puluh kali dan setelah itu buat kliping tentang materi olahraga hari ini," ucap Pak Anjas tegas seperti tak mau dibantah. Sebenarnya Dewa sudah menebak jika hukumannya pasti akan sedikit berat.

"Pak, nggak bisa di diskon jadi sepuluh putaran atau lima putaran aja gitu," kata Dewa mencoba meminta keringanan pada sang guru.

Pak Anjas menatapnya datar namun terkesan tegas. Baiklah, tanpa diperjelas Dewa sudah paham maksud dari tatapan Pak Anjas yang berarti tidak ada dispensasi.

"Kamu pikir pelajaran saya itu flash sale olshop yang sewaktu-waktu banyak diskon. Tidak ada! Kerjakan sekarang atau saya tambah jadi lima puluh putaran." Tidak ada yang berani membela Dewa. Bahkan, Judha hanya diam sambil sesekali menahan tawa karena melihat wajah masam Dewa.

"Pak kok naiknya banyak banget."

"Masih mau membantah, Sadewa!"

"Enggak Pak dua puluh aja udah cukup pakai banget!" kata Dewa sambil mulai berlari untuk menuntaskan hukumannya.

Saat anak itu melewati tempat Biyu berdiri, Dewa sedikit memberi lirikan dan sebuah senyum. Tapi, balasan yang ia dapat hanyalah sebuah wajah datar yang membekukan.

Kalau dipikir-pikir sejak Biyu pindah ke sekolah ini Dewa belum pernah melihatnya berjalan atau bicara pada seseorang. Mungkin karena Biyu itu dingin dan payah soal pertemanan.

Dewa tau Biyu banyak memendam luka dari kesalahan orang-orang disekitarnya. Sebetulnya hati cowok itu selembut sutra meski covernya seganas paus Alaska. Dewa bertekad jika suatu hari nanti ia pasti bisa meluluhkan hati Biyu dan membuatnya kembali seperti dulu.

BotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang