Biyu membenci Dewa itu sudah sejak lama. Tapi, kali ini dia ragu apakah rasa itu masih sama atau telah mengikis dan hilang seutuhnya. Ada ragu disetiap kali mulutnya berkata jika ia membenci anak itu. Rasanya sudah tidak lagi seperti dulu.
Bahkan dulu Biyu bisa sangat tega saat meninggalkan Biyu sendirian di tepi jalan dan pulang dengan keadaan yang mengenaskan. Biyu juga tidak pernah mau peduli ketika Dewa kesakitan dan tersiksa. Malah dia akan merasa senang kalau melihatnya. Meski jauh di dalam dada ada sedikit hal yang mengganjal. Namun, tersamarkan karena benci yang merangkak kepermukaan. Membawa egonya untuk mengalahkan rasa kasihan.
Dewa pernah bermimpi. Suatu hari nanti Biyu akan hadir kembali dan merengkuhnya seperti dulu. Dia yakin jika hal itu akan terjadi. Tapi, Dewa tidak pernah menyangka jika hal tersebut akan terjadi secepat ini.
Masih tidak percaya dengan apa yang tengah ia alami. Kini, Biyu berada di sini. Di dekatnya, duduk berdua tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang tengah menyala dan menampilkan acara lawak di dalamnya. Bahkan Dewa masih bisa merasakan hangat dari pelukan yang Biyu berikan kemarin malam.
Sekarang hanya Biyu yang Dewa punya. Hanya Biyu yang ia harapkan untuk menjadi penopangnya. Hanya Biyu tempatnya pulang. Kiranya begitulah yang Dewa pikirkan, entah bagaimana dengan Biyu.
"Mas," Biyu hanya bergumam.
"Kalau Mas Abi juga mau pergi bilang-bilang Dewa, ya." Biyu melirik Dewa dengan kedua alis saling bertautan.
"Biar Dewa nggak kaget dan udah siap hidup sendirian." Kalimat sederhana yang berhasil menggebrak hati Biyu.
Ada ngilu yang tiba-tiba merajam dadanya setelah kalimat itu terucap dari bibir Dewa. Apalagi saat melihat mata anak itu yang berkaca-kaca dan terdapat ketakutan besar dari dalam sana.
Kadang Biyu tidak paham dengan pemikiran Dewa. Biyu memang tidak bisa berjanji untuk selalu ada di sisi Dewa. Tidak bisa selalu ada untuknya.
"Mas, Dewa minta maaf." Biyu masih mencoba diam sambil mendengarkan.
"Kalau aja dulu Bening nggak ...,"
"Nggak usah bahas itu lagi atau gue beneran pergi sekarang." Potong Biyu dengan cepat. Dewa bisa merasakan atmosfer yang berbeda kala anak itu menyebut nama Bening.
"Maaf." Dewa menunduk. Rasa bersalah kembali muncul ketika melihat wajah Biyu yang datar-datar menyeramkan.
Biyu pergi meninggalkan Dewa sendiri. Moodnya hilang. Dan, yang bisa Dewa lakukan hanya diam.
Dewa melangkah pelan di koridor. Beruntung sekali ia tidak kehujanan. Tadi, begitu ia sampai di sekolah gerimis langsung datang dan tak lama hujan turun dengan lumayan deras. Seketika dingin menusuk tubuhnya. Sekolah masih nampak sepi. Dewa memang sengaja untuk berangkat lebih pagi karena masih merasa tidak enak dengan Biyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bother
Teen FictionDewa bahkan tidak pernah meminta apapun pada Tuhan. Bahkan ketika ia di tuding sebagai pembunuh ia hanya diam. Ketika di bully dia hanya diam. Ketika dunia tak menginginkan dirinya ada dia juga diam. Tapi, untuk yang satu ini bolehkah dia egois. Bo...