Mata itu masih tertutup rapat. Rona pucat terlihat sangat kentara di wajahnya. Hidungnya dihiasi nasal kanula untuk membantunya bernapas.
Biyu melipat tangannya di depan dada. Matanya menatap lurus pada objek di depannya. Padahal niatnya meninggalkan Dewa di tepi jalan hanya karena ingin membuat anak itu jera dan tak banyak bicara. Tapi, ia lupa kalau Dewa itu bodohnya luar biasa. Biyu sedikit kaget tadi, saat cowok itu membuka pintu dan tubuh Dewa langsung limbung ke arahnya dengan napas putus-putus.
Sialnya, keluarga Dewa tengah pergi keluar kota. Itulah alasan kenapa Danu memintanya pulang bersama Dewa karena Andaru juga ikut serta dengan kedua orang tuanya.
Detik kosong yang ada di sana hanya terisi oleh raungan jam dinding yang berputar konstan. Kata dokter, Dewa hanya kecapekan sehingga memicu asmanya kambuh. Apalagi tadi di sekolah anak itu sempat pingsan karena di hukum.
Kadang ada rasa kasihan yang menelusup dada Biyu. Raut polos yang Dewa miliki sering membuat Biyu lupa pada rasa sakit yang selama ini ia pendam sendirian.
Tapi, Biyu juga heran dengan dirinya senduri. Kenapa ia masih betah duduk diam di sini menunggu anak itu membuka mata?
Bukankah ini sebuah hal sia-sia. Dia menghabiskan waktu berharganya hanya untuk berada di ruangan berbau obat-obatan ini, tanpa melakukan apapun.
Biyu beranjak dia sadar tidak seharusnya ia di sini terlalu lama apa lagi menunggu Dewa hingga sadar. Nanti Dewa jadi kesenangan.
"A'."
Biyu tidak jadi keluar. Tubuhnya mematung di depan pintu dengan kepala menoleh ke belakang. Tepat di mana Dewa berbaring dan mulai membuka matanya.
Akhirnya Biyu mengurungkan niatnya untuk pergi dan kembali menghampiri Dewa.
Menyusahkan, pikirnya.
Tapi, salah Biyu juga yang meninggalkan Dewa begitu saja di tepi jalan. Ah, baiklah kalau mengingat itu membuat Biyu sedikit merasa bersalah.
Tak ada suara yang ia keluarkan. Hanya tatap datar dengan tangan terlipat di depan dada. Matanya menatap Dewa yang saat itu juga menatap Biyu dengan sayu.
"Mau minum?" tanya Biyu pada akhirnya. Tidak tega juga melihat wajah Dewa yang nampak menyedihkan.
Dewa mengangguk pelan. Dengan telaten Biyu membantu Dewa untuk minum. Ada degup menyenangkan yang mencoba Dewa simpan. Ada teriakan yang ingin merangkak keluar, saking bahagianya. Kalau dengan sakit Biyu bisa sebaik dan seperhatian ini padanya tidak apa Dewa rela.
Dewa melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Sedikit terkejut, lumayan lama juga ia tertidur.
"Mas Abi kalau capek istirahat aja."
Biyu berpindah menuju sofa yang berada dalam ruangan Dewa. Cowok itu melempar jaketnya ke sembarang arah tak jadi pergi dan memilih tinggal. Tubuhnya ia baringkan dengan lengan kanan menutupi mata. Dari brankarnya Dewa tersenyum kecil. Bahagia sekali rasanya. Nggak papa, Andaru dan kedua orang tuanya pergi yang penting ada Abimanyu yang menemani.
"Mas Abi tuh baik. Maafin Dewa. Gara-gara Dewa, Bening ninggalin kita semua. Mas Abi boleh benci Dewa. Tapi, Dewa akan selalu sayang sama Mas Abi seperti Dewa sayang Aa."
"Makasih Mas."
Biyu mendengar semuanya. Sedari tadi ia hanya memejamkan mata dan masih terjaga sepenuhnya. Ada sesuatu di dalam diri Biyu yang memberontak. Seperti kecewa yang berperang dengan logika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bother
Teen FictionDewa bahkan tidak pernah meminta apapun pada Tuhan. Bahkan ketika ia di tuding sebagai pembunuh ia hanya diam. Ketika di bully dia hanya diam. Ketika dunia tak menginginkan dirinya ada dia juga diam. Tapi, untuk yang satu ini bolehkah dia egois. Bo...