Bother; 11

2.2K 242 54
                                    

Hidup dan mati adalah kuasa Tuhan. Kau bisa saja berlari-larian sekarang. Tapi, bisa jadi lima menit kemudian kau hanya duduk diam tanpa bisa melakukan pergerakan. Ada banyak rencana yang telah lama Dewa susun jika Tuhan mengijinkan. Tapi, rupanya Tuhan lebih mempunyai rencana untuk hidup Dewa ke depan.

Kemarin ia masih bisa tersenyum. Masih bisa melihat tawa keluarganya. Masih bisa bercerita tentang apa saja yang ia lakukan dan alami seharian.

Namun, pagi yang datang dengan membawa gerimis seolah menghantarkan pesan untuk Dewa. Ingin menyesal pun seperti percuma, karena nyawa hanya milik Tuhan semata. Dewa hanya tak percaya jika akan secepat ini Tuhan mengambil orang-orang yang ia sayang.

Hidup Dewa hancur. Sesak di dadanya belum juga menyingkir sejak kabar buruk itu tertangkap indra hingga meluluhlantakkan semua bahagia yang pernah tercipta begitu saja. Air mata bahkan tidak mau berhenti mengaliri pipinya. Isak tangis yang mencoba ia tahan malah menambah sesak yang belum juga ingin hengkang.

Dewa bersimpuh di atas tanah yang telah bertabur bunga warna warni. Tangannya tak ingin lepas dari nisan Sang Bunda. Matanya menatap dua nisan di samping nisan Bunda dengan kosong. Mata itu tak lagi memendarkan cahaya. Redup. Hitam serta sayu. Tidak lagi peduli dengan kotor dari tanah yang menempel pada setiap inci bajunya. Ini terlalu tiba-tiba dan Dewa belum bisa menerima. Seperti mimpi, namun sayangnya ini nyata.

Biyu tak kalah hancur dan kacau seperti Dewa. Ia terkejut saat kemarin Dewa menangis meraung-raung di depan televisi sambil menyebut nama Ayah, Bunda dan Andaru. Bukan Dewa yang menjadi fokus Biyu. Namun, sebuah berita di televisi yang menayangkan sebuah kecelakaan pesawat. Na'asnya, itu adalah pesawat yang di tumpangi oleh keluarganya. Tak ada firasat apapun sebelumnya. Tapi, Biyu memang merasakan sesuatu yang aneh akhir-akhir ini. Seperti tingkah dan ucapan Om, Tante dan Andaru. Tapi, ia pikir itu hanyalah omongan biasa yang hanya menjadi angin lalu. Andai Biyu lebih peka menangkap sinyal-sinyal itu mungkin kemarin ia tidak akan mau ketika Arumi menitipkan Dewa padanya.

Bahkan ucapan Andaru tempo lalu terus saja berputar-putar di kepala. Harusnya, hari ini adalah acara pertunangan Andaru. Biyu bahkan baru tau kemarin ketika Danu bilang padanya. Lelaki itu juga berpesan untuk menjaga Dewa selama dia pergi. Na'as, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kerusakan mesin tiba-tiba dan membuatnya jatuh hingga hancur tak tersisa. Semua penumpang tewas termasuk pilot dan juga awak pesawat lainnya.

Tapi, bukan pergi seperti ini yang Biyu inginkan. Keadaan makan sudah sepi. Semua orang sudah kembali ke rumah masing-masing sejak beberapa menit lalu. Tadi, sebenarnya Pesona dan Judha ingin tinggal, namun Biyu mengusirnya dan mereka hanya menurut saja. Toh, Dewa belum bisa di ajak bicara ataupun bercanda sekarang. Dia hanya butuh tenang untuk menerima keadaan yang akan datang.

"Bunda bangun." Begitu lirih suara itu mengudara. Ada getar yang mengusik diri Biyu. Namun, sebisa mungkin cowok itu menahan dan hanya menjadi  pengamat sekarang. Biarlah Dewa melampiaskan semua emosi yang tertahan. Sudah cukup Biyu melihatnya pura-pura tegar dari kemarin.

"Ayah bangun katanya cuma mau pergi sebentar." Dewa beralih ke makam Sang Ayah.

"Aa bohong. Katanya Aa bakal pulang dan main lagi sama Dewa. Aa bangun. Ayah! Bunda! Bangun! Jangan tinggalin Dewa sendiri. Kalau kalian pergi Dewa sama siapa? Haaaaaaa." Dewa memukul tanah di depannya sesak di dadanya minta untuk segera di keluarkan dan Dewa tak bisa lagi menahan.

Dengan gerakan cepat Biyu menyeka air mata yang hendak mengaliri pipinya. Ini pertama kalinya ia melihat Dewa begitu hancur. Biasanya anak itu selalu menampakkan senyum mau sejahat apa dia pada cowok itu. Dewa masih melampiaskan seluruh kesalnya.

Gerimis kembali datang, namun tak ada niatan untuk Dewa beranjak dari sana.

"Ayo pulang."

Tak ada suara yang keluar selain tangis Dewa yang terdengar memilukan. Tidak ada pergerakan yang berarti dari tubuh yang berguncang hebat dengan tangan dan lutut sebagai tumpuan.

BotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang