Sembilan🐋

47 8 0
                                    

'Masalahnya dia nyaman sebagai teman, tapi kamu yang melibatkan perasaan'

.

.

.

Biru masih diam, meskipun bel istirahat sudah berbunyi bebrapa menit yang lalu. Ia masih diam, membuat Anin ikut bingung dengan Biru. "Bir, lo kenapa? Duh... jangan masukin hati ucapan gue yang ngolokin lo bego tadi pagi!" ucap Anin dengan raut wajah bingung.

Biru menatap Anin, senyumnya mengembang kembali. "Ngga kok! Siapa juga yang masukin tuh omongan ke hati. Cumaa... gue-" Biru menggantung kalimatnya.

"Lo mikirin Gibran?" tanya Anin to the point. Mata Biru seketika membulat, ia menutup mulut Anin.

'Hm... untung si Gibran udah ke luar kelas' batin Biru.

Biru melepaskan tangannya dari mulut Anin. "Lo kalau ngomong kok suka bener sih Nin?" tanya Biru. "Gue itu... mikirin... gini ya-"

"Lo temenan sama dia terus lo baper"

Mata Biru kembali membulat. "Sssssstttt...." Biru meletakkan telunjuknya di mulutnya. "Jangan keras-keras bego! Yang lain denger" ucap Biru jengkel.

Anin mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ooooh... jadi lo beneran mikirin si Gibran!" ucap Anin dengan wajah sok kaget dan degan bisikan yang keras. Biru menyentil dahi Anin.

"Ngeri banget gue lihat muka lo yang kaya gitu" ucap Biru. Anin yang merasa dahinya sakit karena sentilan Biru.

Dengan muka yang ditekuk dan mengusap dahunya Anin menatap Biru sangat jengkel. "Yaa... lo sih! Ngga pakai nyentil dahi juga!" ucap Anin dengan nge-gas.

Biru menyengir. "Yaaa... maap Nin... lo juga sih, tingkah sok imut gitu" ucap Biru.

"Lah emang gue imut!" ucap Anin dengan senyum manisnya.

"Iiiihhh... PD amat lo!" Biru berlagak ngeri dengan apa yang di ucapkan oleh Anin. "Oh ya Nin... "

"Apaan? Gibran? Gue ngerasa sih, lo itu suka sama Gibran. Tapi... kan gue ngga ikut ngerasain, jadi itu serah lo." Biru mengerutkan alisnya.

"Suka?" Biru tersenyum meremehkan. "Mana ada?"

"Yaaa... gini deh, pikirin! Si Gibran itu perhatian banget sama lo! Dan, gue yakin juga lo itu baper sama apa yang dia lakuin ke lo. Gue yakin seratus persen Bir!"

Biru terdiam. "Tapi... gue ngga ngerasa seperti itu. Karena, entah kenapa setiap perbincangan apa yang gue katain sama dia, itu kaya nekanin emang gue iku bener-bener temennya" ucap Biru.

Anin tersenyum meremehkan kembali. "Lo itu Bir, gini ya... gue kan udah bilang. Gue Cuma ngerasa, tapi gue ngga tau apa yang lo rasa. Jadi, masalah lo suka sama dia atau engga itu gue ngga mau ikut campur"

Biru terdiam. "Emang... selama ini lo sama dia itu gimana?" tanya Biru.

"Gue sahabat kecilnya, saat kelas 8 SMP gue ngerasa suka sama dia. Gue ungkapin, biar gue ngga terjebak dengan cinta remaja gue yang aneh. Setelah itu, Gibran bilang sama gue akan berusaha suka sama gue. Awalnya kita agak sedikit menjauh, tapi gue paksa dia untuk ngga menjauh dari gue. Karena, gue akui hidup gue beneran bergantung pada dirinya" Biru benar-bener fokus dengan apa yang di bicarakan oleh Anin. "Dan... yang deket dengan gue itu bukan hanya Gibran. Tapi juga keluarganya, kita kenal sejak kecil. Makanya, itu yang buat gue semakin yakin kalau Gibran mau sama gue. Dan, Gibran beneran usaha suka sama gue. Dan, sejak itu kami pacaran. Gibran saat pacaran sama gue, beda sekali dengan Gibran yang dulu sebagai temen gue. Dan, sejak itu gue nyesel telah pacaran dengan Gibran. Gibran yang sedikit ngga ngertiin gue. Aduh... pokonya Gibran beneran berubah total" Anin tersenyum kecut saat mengingat itu. "Dan... Gue nyadar, seharusnya gue ngga boleh suka dengan Gibran"

"Terus, apakah rasa lo ke Gibran itu masih ada?"

Anin menggeleng. "Gue nyadar, gue suka dia sebagai temen. Bukan pacar. Dan... gue bukan tipe dia, dia juga bukan tipe gue. Kita juga saling tolak belakang"

Biru mengangguk. "Dan... sekarang lo ngga sedeket itu dengan Gibran? Sama keluarganya" tanya Biru.

"Masih, tapi Gibran ngga kaya dulu lagi. Mungkin karena keras kepala gue yang dulu ya? Gibran jadi kaya gini" ucap Anin.

"Tapi... lo lega kan udah milikin Gibran? Meski hanya untuk sementara!"

Anin mengangguk. "Dan... sifat temen yang paling gue sukai dari dia sampai sekarang itu, dia selalu jujur ke gue. Dan lo tau?"

"Apa?"

"Dia ngga pernah perhatian ke gue"

'Wait.... Ini beneran? sahabat kecil ngga pernah di perhatiin? Astaga Gibran gila!' batin Biru

Biru mengerutkan dahinya. "Beneran? Temen kecil ngga pernah perhatian?"

Anin mengangguk mantap. "Orang tuanya yang sangat perhatian ke gue"

Biru mengangguk mantap. "Aneh juga ya! persahabatan lo berdua itu"

"Tapi... lo dan Gibran temenan dengan cepat, dan dia juga perhatian ke lo!"

'ehm... iya juga ya? Anin aja ngga diperhatin, tapi kenapa gue iya? Ih... kok gue ya yang sekarang kepedean' batin Biru.

"Mungkin Cuma lo aja yang ngerasa kaya gitu Nin, gue ngga" ucap Biru.

🐋🐋🐋

Biru masuk ke rumahnya dengan keadaan masih basah kuyub. Kehangatan jaket Gibran pun seperti tidak terasa. Badan Biru sangat basah. Karena guyuran hujan setelah pulang sekolah, dan Biru sedikit lama menunggu Pak Bejo yang mobilnya mogok.

Setelah Biru mengganti semua pakaian sekolahnya. Biru membuka lemarinya. Ia teringat tetang jaket. Jaket Gibran yang telah di pinjamkan ke Biru. Terhitung 2 jaket Gibran yang berada di tangan Biru. Awal jaket saat Biru lagi dapet dan saat ini. Biru tersenyum simpul saat ia menyentuh jaket itu.

"Iya juga ya? Dia perhatian ke gue. Buktinya nih jaket"

"Eh... tapi ini ngga sering juga sih?"

"Kok gue semakin kepedean gini sih?"

"Ah.... Gue gila gara gara mkirin terus tuh Gibran. Padahal ngga ada juga hubungan... ingat Biru, dia udah punya pacar"

Biru memasang wajah cemberut. "Apa bener ya yang dikatain oleh Anin. Gue suka sama Gibran"

"Lah aneh juga! Masa Cuma gara-gara beginian gue bisa baper sih? Kan aneh banget"

"Tapi..."

Biru menyentuh Jaket itu. "Gue suka dengan perlakuan Gibran, yang sering nolong gue, perhatian... dan dia manis" Biru tersenyum simpul.

Hingga ia memikirkan saat ia pertama kali bertemu, ia membantu tugas dari Bu Ninda, permintaan maaf Gibran yang dibilang aneh menurut Biru.

Biru menggeleng mengusir pikirannya. "Dasar gue sekarang aneh banget. Masa iya gue suka sama dia?"

"Ngga-ngga... nga boleh suka sama anak yang udah pacaran. Lagian gue juga ada-ada sih?"

"Tapi... gue udah nyaman... menurut gue, bukan hanya gue. Tapi kita, saling nyaman dengan hubungan pertemanan ini"

Biru melihat jaket Gibran lagi. "Dan... iya, gue suka sama Gibran" ucap Biru pada endingnya.

Biru tersenyum kecut. "Bir, seharusnya lo tau dia nyaman sebagai teman, tapi kamu yang melibatkan perasaan" cicit Biru pada dirinya sendiri.



Jangan lupa vote

yufi

Just a Friend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang