Dua Puluh Sembilan🐋

36 5 1
                                    

'Gue pergi'

.

.

.

Biru menatap kosong kamarnya. UN sudah dua hari ia lalui. Ia juga tidak melihat Gibran sama sekali.

"Kok gue ngga tau ya! Gibran beda sesi! Emang gue begonya kebangetan ya!" Biru melihat kalender di ponselnya. Biru tersenyum kecil.

"Udah ngga ada lagi waktu untuk bertemu" Biru mengetuk tanggal terakhir UNnya. "Hari itu juga, gue pergi ke Surabaya untuk pamit ke mama selama 2 hari" Biru menatap sendu langit-langit. "Gib, gue udah minta maaf duluan ke lo. Gue yang melangkah maju dulu untuk sekian kali ke lo. Tapi, hari ini. Gue pasrah, gue ngga ingin ngelanjutin langkah ini. Gue beneran capek" Biru melihat koper besar di atas lemarinya.

Biru berdiri, kemudian ia menurunkan kopernya. "Dan, gue ngga akan ada beban lagi. Gue kan udah minta maaf ke lo, dan... Gue juga udah ngucapin pisah ke lo kan? Lewat lagu itu" Biru mengusap air matanya yang keluar tiba-tiba. "Apaan sih? Gue kok nangis gini! Cengeng! Cuma friendzone aja pakek nangis kaya gini! Berasa beneran bego gue" Biru kembali mengusap air matanya. Ia membuka lemarinya, ia memasukkan beberapa bajunya yang menurutnya akan ia pakai disana. Mengingat, disana berbeda dengan di Indonesia.

"Seharusnya yang gue pikirin saat ini bukan lo, tapi apartemen yang di sewa ayah disana gimana?" Biru tertawa kecil. "Dua kali friendzone. Kenapa ngga mulai awal aja sih? Gue bilang ke gue sendiri ngga usah suka!" Biru menghembuskan nafasnya kasar. "Cukup, kalau move on sebelum memiliki harus gue lakukan. Akan beneran gue lakukan, mulai sekarang"

😁😁😁

Sampai hari terakhir UN, Biru tidak melihat Gibran. "Woy!" Biru membalik.

"Anin? Ngapain? Gue kira lo lupa gue, setelah jadian" Anin menyengir.

"Ngga kok, gue ngga akan pernah lupa sama lo" Anin merangkul Biru. "Kenapa? Gibran ya?" Biru menggeleng.

"Jangan sok nutupin deh lo, gue tau" Biru menghembuskan nafasnya kasar.

"Ho o" Anin tersenyum.

"Tunggu aja, mungkin-" Biru tertawa kecil.

"Udah ngga lagi" Biru menatap Anin. "Gue ngga nunggu, dan ngga akan melangkah lagi" Anin mengerutkan dahinya.

"Kenapa?" tanya Anin.

"Karenaa..." Biru menatap langit. "Gue capek. Gue suka dia karena gue sendiri, gue berjuang sendiri, gue lelah sendiri, gue sakit sendiri, dan gue bego sendiri" Biru menatap Anin. "Benerkan? Friendzone sepihak emang ngga enak. Gue aja bingung dengan dia, dia suka ngga sih sama gue? Kita marahan berbulan-bulan dia hanya apa? Diem" ucap Biru. Mata biru mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya serasa tercekat hebat. "Gue capek, lebih baik gue mundur" ucap Biru.

Samar-samar Biru mendengar suara motor kakaknya, Biru memastikan itu. Biru melihat plat motor itu.

"Gue pamit" Anin mengangguk. Tapi, beberapa langkah Biru menjauhi Anin, Biru kembali lagi. Kemudian, Biru memeluk Anin. "Gue pamit" Anin tersenyum kecil.

"Apaan sih? Alay tau ngga?" ucap Anin dengan tawa kecilnya. Biru tersenyum manis.

"Kangen hubungi gue" ucap Biru. Anin mengerutkan dahinya.

"Biru! Jangan lupa malam minggu!" Biru mengingat kembali.

'Promnight? Maaf'

😚😚😚

Biru menatap makam mamanya. Sudah dua hari ia berada di kota ini. Dan ini untuk yang terakhir kali. Biru sangat mengingat, hari ini hari sabtu. Nanti malam sekolahnya mengadakan acara besar. Biru tidak mengikuti itu.

"Biru!" Biru menoleh, ia melihat bundanya yang tersenyum manis. Kemudian ia mengusap puncak kepala Biru.

"Bunda, Biru udah siap" memang benar, masih ada beberapa waktu luang untuk Biru mendaftar di universitas keinginannya. Tapi, masih ada yang Biru ingin kembangkan di negara itu sendiri. Yaitu, penerapan bahasanya.

Biru melihat makam mamanya tersenyum.

"Mama, Biru berangkat meraih keinginan Biru ya!" Biru berdiri, kemudian ia dirangkul oleh Kirana.

"Jangan sedih terus ya... Anak bunda. Nanti, kalau bunda ada waktu, bunda kesana kok! Tenang aja" Biru tersenyum kecil.

"Iya, iya bunn"



Jangan lupa vote!!! Ikuti part berikutnya untuk mengetahui perasaan Gibran selal ini

Yufi

Just a Friend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang